Jakarta: Indoesia Corruption Watch (ICW) menyambangi Kantor Komisi Pemilihan Umum (
KPU) RI, Jakarta, hari ini, 22 Februari 2024. ICW diwakili salah satu penelitinya, Egi Primayogha.
ICW mengajukan permohonan informasi mengenai Sistem Informasi Rekapitulasi (
Sirekap) yang digunakan KPU sebagai alat bantu penghitungan suara pada
Pemilu 2024. Informasi itu termasuk kejelasan soal anggaran yang dikeluarkan.
"Permohonan informasi mengenai Sirekap yang kami ajukan meliputi dokumen pengadaan, dokumen anggaran, dan juga daftar kerusakan yang pernah terjadi di Sirekap," ujar Egi, di Jakarta, Kamis, 22 Februari 2024.
Menurut dia, dokumen tersebut diperlukan untuk memeriksa apakah pengadaan Sirekap sudah memenuhi tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Bagi ICW, kejelasan mengenai Sirekap menjadi hal yang mendesak di tengah dugaan kecurangan Pemilu 2024, termasuk manipulasi suara.
"Tentu kami ingin memeriksa apakah betul ada kecurangan yang terjadi melalui Sirekap," jelas dia.
Dia menilai jika proses pengadaan Sirekap di hulu dilakukan secara benar, seharusnya tidak terjadi permasalahan yang timbul di hilir, yakni saat proses rekapitulasi penghitungan suara seperti perselisihan suara antara Sirekap dan formulir C.Hasil.
Terlebih, menurut dia, informasi yang beredar menyebutkan bahwa pengadaan Sirekap mencapai Rp3,5 miliar. Egi menilai anggaran Sirekap bukan hal yang perlu ditutup-tutupi KPU. Sebab, sumber pengadaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Kami juga ingin memeriksa, anggarannya sebesar apa, detailnya seperti apa, digunakan untuk apa saja, apakah perencanaannya sejak awal sudah dilakukan dengan patut atau tidak. Karena perencanaan yang buruk di awal bisa berdampak pada kerusakan atau praktik buruk di akhirnya," jelas dia.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Divisi Penelitian dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rozy Brilian Sodik juga meminta kejelasan KPU mengenai masih adanya petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia seperti penyelenggaraan pemilu lima tahun lalu.
"Kami meminta pertanggungjawaban KPU. KPU seharusnya bisa secara terbuka dan transparan menyampaikan kepada publik apa sebetulnya alasan sesungguhnya (petugas KPPS meninggal)," ujar Rozy.
Saat dikonfirmasi, anggota KPU RI Idham Holik mengatakan pihaknya bakal segera menjawab permintaan ICW dan Kontras. Ia menyebut bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan pemilu adalah prinsip berkepastian hukum. Terkait pembukaan informasi kepada publik, Idham menyinggung eksistensi Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
"Maka kami akan pedomani undang-undang tersebut dalam menjawab informasi yang diminta oleh masyarakat ataupun LSM. Kami tetap hargai surat tersebut dan segera kami akan jawab," terangnya.
Menurut Idham, Sirekap jauh lebih baik ketimbang sistem yang digunakan KPU pada Pemilu 2019. Ia juga mengeklaim bahwa KPU telah membuka seluas-luasnya akses publik mengenai hasil penghitungan suara di TPS lewat Sirekap.
"Jadi tidak beralasan kalau kami dibilang hari ini lebih buruk, justru hari ini kami lebih maju karena formulir model C.Hasil plano sebagai sumber data otentik perolehan suara di TPS untuk seluruh peserta pemilu kami publikasi dan semua masyarakat Indonesia bisa mengakses tersebut," ujar Idham.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((LDS))