Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Permilu terkait ketersediaan surat suara bagi pemilih pindah atau daftar pemilih tambahan (DPTb). Putusannya, pemilih di DPTb bisa menggunakan hak suaranya.
"MK memperbolehkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk melayani pemilih yang pindah memilih atau daftar pemilih tambahan (DPTb)," kata Ketua KPU Arief Budiman di Hotel Sultan Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019.
Dengan putusan MK itu, kata Arief, KPU akan mencetak surat suara untuk DPTb. Total ada 275.923 pemilih di DPTb yang tercatat di KPU.
"Kalau memang sudah tidak cukup didistribusikan ke TPS (tempat pemungutan suara) yang ada, maka dia boleh dilayani dengan didirikan TPS dan diberi surat suaranya. Jadi saya pikir ini penegasan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak pilih warga yang memenuhi syarat untuk memjadi pemilih," ungkap Arief.
Arief menilai putusan MK ini selaras dengan apa yang diatur KPU dalam peraturan KPU (PKPU) terkait DPTb. Mereka diperbolehkan mencoblos dengan membawa KTP-elektronik atau dengan surat keterangan.
"MK menegaskan, surat keterangan adalah surat bahwa dia sudah direkam. Jadi, data ketunggalannya itu bisa dipastikan," ujar Arief.
Arief melanjutkan MK juga telah memberi kelonggaran waktu bagi DPTb. Diketahui, sebelumnya mendaftar pindah memilih bagi DPTb ini sudah ditutup sejak 17 Maret 2019.
"Namun, putusan MK mereka bisa mendaftar untuk menjadi pemilih di KPU daerah tempat tinggal sampai dengan tujuh hari sebelum hari pemungutan suara," pungkas Arief.
Baca: MK Izinkan Pemilih Tanpa KTP-el Nyoblos
Sebelumnya, Senior Partner Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) Denny Indrayana mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dia beserta elemen masyarakat lain menyoalkan lima pasal.
Pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu. Menurut Denny, pengujian pasal dilakukan karena dinilai menghambat dan berpotensi menghilangkan hak pemilih.
Dalam permohonan ini, Denny menggandeng pihak lain. Mereka di antaranya mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay dan Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((OGI))