Jakarta: Partai Gerindra diminta membeberkan metode surveinya yang mengatakan pasangan calon (paslon) nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lebih unggul dari paslon 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019. Hasil survei tanpa metodologi dinilai sebagai fiksi biasa.
"Jika metodologi penelitian itu tidak dibuka ke publik, hasil survei itu tidak dapat dipertanggungjawabkan," kata pengajar ilmu politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Sri Budi Eko Wardani seperti dikutip
Media Indonesia, Selasa, 9 April 2019.
Sri mempertanyakan hasil survei dari Gerindra. Menurut dia, hasil survei internal bukanlah konsumsi publik. Hasil survei itu dinilai bentuk pengalihan isu menjelang seminggu terakhir hari pencoblosan.
"Kalau survei digelar internal, seharusnya itu hanya untuk konsumsi internal, bukan diumumkan ke publik. Menjadi konsumsi internal buat menyusun strategi internal. Tapi jika itu diumumkan, itu artinya ada motif untuk membangun opini publik," ujar Sri.
Pada umumnya, sebuah survei haruslah memberitahu metode yang digunakan dan jumlah responden yang ditemui. Jika tidak, kata Sri, hasil survei tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Ketika sudah menjadi pengetahuan publik, survei itu harus dibuka, termasuk metodologi penelitiannya sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Masyarakat harus kritis soal itu, penelitinya pun harus bisa menjelaskan," tutur Sri.
Sri menilai jika masyarakat tidak kritis, akan terbangun opini masyarakat asal percaya atas hasil survei yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan metodologi penelitiannya. Hal ini bisa bermasalah jika hasil survei itu dipercaya sebagai gambaran nyata Pilpres 2019.
"Jika hasil pilpres yang tidak sesuai dengan hasil survei internal kemudian dikatakan ada kecurangan, itu salah besar. Ini berbahaya dan KPU (Komisi Pemilihan Umum) harus menjawabnya. KPU harus menjawab hasil survei tidak menggambarkan populasi pemilih yang mencoblos," terang Sri.
Baca: Gerindra Tak Percaya Hasil Survei LSI
Sri menjelaskan survei itu bukan alat pengukur populasi. Sementara itu, hasil pemilu adalah gambaran populasi pemilih.
"Survei itu menyaring pendapat. Pendapat itu bisa berubah-ubah, bahkan hingga di bilik suara. Sementara quick count itu ditanya kepada pemilih setelah mencoblos. Jadi quick count bisa menjadi alat pembanding hasil penghitungan. Bukan hasil survei," jelas Sri.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sugiono menyebut elektabilitas Prabowo unggul jauh atas Jokowi. "Kami punya survei internal, 62 persen Prabowo, 38 persen Jokowi. Kita punya asesmen 62 persen. Terus yang selama ini beredar Prabowo-Sandi selalu di angka yang rendah," kata Sugiono.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((OGI))