Jakarta: Analis politik lembaga Exposit Strategic Arif Susanto menpersoalkan usulan dana saksi dibiayai negara. Menurutnya, hal ini merupakan bentuk tawar menawar (
bargaining) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pemerintah.
"Ini sebenarnya pola yang berulang oleh DPR. Bukan hanya menyangkut dana saksi," kata Arif saat diskusi di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Kamis, 18 Oktober 2018.
Ia menyebut ada dua isu kontemporer yang serupa dengan dana saksi yakni pembangunan gedung baru DPR dan dana aspirasi yang dulu sempat mencuat. Akhirnya, dua item itu digolkan meski tidak sepenuhnya sesuai permintaan DPR.
Isu-isu seperti ini, kata dia, menguatkan anggapan bahwa DPR hanya sekedar corong partai. Semua kepentingan yang diupayakan legislatif menguntungkan parpol semata. Bisa jadi isu dana saksi ini akan terus diulang.
"Itu biasanya partai-partai akan mencoba melakukan
bergaining dengan pemerintah sampai pemerintah merasa terpojok atas kasus tertentu, terus akhirnya dibarter," imbuh Arif.
Dia menyebut tawar menawar ini berkaitan dengan rencana kenaikan BBM yang mendapat penolakan DPR. Ujungnya legislatif setuju ada kenaikan, asal ada dana untuk saksi.
Hal ini menurutnya bisa saja terjadi, partai hanya perlu menyuarakan kebijakan yang memojokkan pemerintah. "Itulah yang terjadi dengan gedung DPR dan dana aspirasi," kata Arif.
Imbas lanjutan dia, mengurangi efektifitas pemerintahan sebab dengan cara yang sekarang pemerintah berusaha merangkul banyak kawan. Sehingga banyak 'kue' yang dibagi dan membuat pemerintahan tidak efektif.
"Karena pemerintah jauh lebih disibukkan untuk melakukan konsolidasi kekuatan daripada bekerja untuk rakyat," tandas dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((SCI))