Jakarta: Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai potensi jual beli suara dalam pemilihan umum (pemilu) kali ini sangat besar, terutama, dalam pemilihan legislatif (pileg). Pasalnya, pileg cenderung tak diperhatikan akibat berbarengan dengan pemilihan presiden (pilpres).
"Kalau kita melihat transaksi jual beli suara itu marak dilakukan dan terjadi di pileg, kenapa? Karena Pileg ini nyaris pengawasannya tidak sekuat dan seketat pada pilpres," kata Adi kepada
Medcom.id, Sabtu, 8 Juni 2019.
Menurut dia, hampir semua pihak memelototi pilpres dalam pemilu yang berlangsung serentak ini, mulai dari pengawas pemilu, hingga media. Terlebih, Pilpres 2019 merupakan arena tanding ulang 'dua jagoan'.
"Makanya pileg ini banyak ditinggalkan, banyak dilupakan orang," ungkap Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu.
Bila melihat laporan-laporan di pengawas pemilu, kata Adi, dugaan kecurangan suara marak terjadi di pileg. Ini bisa dibuktikan lewat banyaknya gugatan kasus sengketa suara calon anggota legislatif (caleg) yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Gugatan kasus sengketa suara itu justru lebih banyak dilakukan di pileg ketimbang pilpres," ujarnya.
Baca: Masyarakat Diminta Legawa Terima Hasil MK
Besarnya potensi jual beli suara di pileg ini juga diyakini akibat sistem pemilu serentak. Suka tidak suka, kata dia, pemilu serentak ini membuat pileg seperti anak tiri yang hampir tidak pernah dibicarakan publik.
"Hampir tidak pernah dibicarakan calegnya siapa, proses kecurangan seperti apa. Makanya kemudian transaksi jual beli suara itu cukup terbuka terjadi," ungkap dia.
Secara normatif, kata Adi, praktik jual beli suara ini sejatinya telah dilarang undang-undang. Pelaku maupun penerima masuk kategori tindak pidana pemilu.
"Yang jelas Undang-undang Pemilu menyatakan kalau mereka yang jual beli suara itu, jelas melakukan kejahatan politik," pungkas dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((OGI))