Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengajuan uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 384 ayat (4) terkait pindah memilih. MK sepakat dengan pasal itu yakni seseorang yang pindah memilih tidak bisa memilih caleg hanya bisa memilih calon presiden.
"Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat dalil para pemohon a quo yang menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim Aswanto saat membacakan pertimbangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Maret 2019.
Dalam pertimbangannya Hakim Aswanto menjelaskan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu adalah diberlakukan terhadap “pemilih dengan kondisi tertentu”.
"Adapun yang dimaksud dengan “pemilih dengan kondisi tertentu”, sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 348 ayat (3) UU Pemilu, adalah pemilih yang sedang bersekolah dan/atau bekerja di luar domisilinya, sedang sakit, dan pemilih yang sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan," jelas Hakim Aswanto.
Aswanto melanjutkan pembatasan hak untuk memilih terhadap calon/peserta pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan konsekuensi logis
dari ada dan ditetapkannya daerah pemilihan. Dalam hal ini, daerah pemilihan tidak hanya menentukan batas wilayah pemilihan bagi peserta pemilu, melainkan juga batas pemilihan bagi pemilih.
"Artinya, daerah pemilihan merupakan batas penggunaan hak pilih, baik hak memilih
maupun hak untuk dipilih. Dalam konteks itu, pengaturan pembatasan hak untuk memilih terdahap peserta pemilu pada level tertentu berdasarkan daerah pemilihan merupakan sebuah kebijakan hukum yang sangat logis dan tidak berkelebihan," tutur dia.
(Baca juga:
MK Izinkan Pemilih Tanpa KTP-el Nyoblos)
Aswanto menambahkan pemilu secara teknis dipahami sebagai mekanisme konversi suara rakyat menjadi kursi di lembaga perwakilan. Proses konversi suara rakyat menjadi kursi dikanalisasi melalui pelaksanaan pemilu berbasis daerah pemilihan.
Kanalisasi tersebut, kata dia, tidak saja bermakna bahwa proses pemilihan dilakukan berbasis daerah pemilihan, melainkan juga dimaksudkan bahwa daerah pemilihan merupakan wilayah representatif sehingga wakil rakyat terpilih bertanggung jawab kepada konstituen di daerah pemilihan di mana mereka terpilih.
Dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu berlaku berbasis skala pindah memilih. Dalam arti, hak memilih yang tidak dapat digunakan adalah hak untuk memilih calon di daerah pemilihan yang ditinggalkan. Namun, apabila pindah memilih masih dalam daerah pemilihan yang sama maka seorang pemilih tetap memiliki hak memilih calon/peserta pemilu dimaksud.
Kerangka hukum demikian tidak dapat dinilai sebagai penghilangan hak memilih anggota legislatif sebagaimana didalilkan para pemohon. Sebab, hak memilih calon/peserta pemilu bagi pemilih yang tidak berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan pada dasarnya memang tidak ada.
"Artinya, ketika pemilih sudah keluar dari daerah pemilihannya maka hak memilihnya tidak lagi valid untuk digunakan. Justru ketika hak memilih tetap diberikan kepada pemilih yang basis representasinya bukan di daerah pemilihan yang bersangkutan maka konsep batas wilayah pemilihan dan pertanggungjawaban wakil terpilih akan menjadi tidak jelas," tutur dia.
Pemohon Legawa
Menanggapi keputusan itu, pendiri dan peneliti utama NETGRIT Hadar Nafis Gumay menyayangkan keputusan MK. Menurutnya, dengan ditolaknya pengajuan itu, membuat adanya suara yang terbuang.
Namun, dia tetap menghargai keputusan MK. Keputusan MK dinilai tepat.
"Itu jelas sekali ditolak karena memang menganggu kualitas keterwakilan dan pertanggungjawaban dari anggota dewan yang berangkat dari dapil, tentu ini bisa kita pahami juga," tambah dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((REN))