Jakarta: Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra meminta seluruh kuasa hukum pemohon dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) legislatif 2019 memahami maksud permohonan terutama dalam petitum permohonan. Hakim kerap menemukan permohonan tidak konsisten.
"Bahwa ada perbedaan yang mendasar antara pemilu ulang, penghitungan suara ulang, dan pemungutan ulang. Ini harus dipahami, nanti petitum dan maksudnya jadi 'jaka sambung naik ojek, ga nyambung' gitu ya," ujar Saldi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019.
Saldi mengatakan hal tersebut dalam sidang pendahuluan sengketa Pileg 2019 di ruang sidang Panel II, yang memeriksa sengketa Pileg 2019 daerah pemilihan Papua. Saldi menegaskan petitum permohonan harus jelas sebab mengandung konsekuensi yuridis yang harus dilaksanakan.
Dia mengungkapkan kerap terjadi inkonsistensi dalam permohonan, serta petitum permohonan yang tidak relevan terkait dengan pemilu ulang, pemungutan suara ulang, dan penghitungan suara ulang.
(Baca juga:
KPU Fokus Jawab Dalil Kesalahan Hitung Suara)
"Jangan Anda nanti jangan salah menyebutnya, kalau salah jadi kabur permohonannya. Dan ini saya ingatkan kepada seluruh kuasa hukum yang mewakili para pemohon ya," Saldi.
Senada, Hakim Konstitusi Aswanto yang memimpin persidangan di ruang sidang Panel II meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) membantu menjelaskan perbedaan antara pemilu ulang, penghitungan suara ulang, dan pemungutan suara ulang.
"Semua memang sama-sama pakai kata ulang, tapi harus dipahami betul karena konsekuensi yuridisnya berbeda. Nanti dalam sidang selanjutnya KPU mungkin bisa membantu menjelaskan perbedaannya," kata Aswanto.
Hari ini MK menggelar sidang perdana gugatan sengketa Pileg 2019. Sidang mengagendakan pembacaan permohonan. Sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan KPU, Bawaslu, dan pihak terkait akan digelar pada Senin, 15 Juli 2019.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((REN))