Oleh Ikrar Nusa Bhakti, Profesor riset di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Artikel ini diambil dari Media Indonesia edisi 6 Oktober 2014.
ADU kekuatan yang tampak di Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sesaat setelah mereka dilantik, 1 Oktober 2014, cukup merisaukan berbagai kalangan, baik pelaku bisnis di pasar modal, investor asing, aktivis, pemerintah, maupun rakyat biasa. Bukan hanya kegaduhan yang kita tonton, melainkan juga betapa tajamnya pertarungan politik antara koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta dan koalisi partai pendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Meski Partai Demokrat selalu menyatakan sebagai partai tengah yang tidak memihak, tampak jelas betapa warna Demokrat semakin jelas mendekat ke koalisi pendukung Prabowo yang terdiri atas Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Rakyat, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Ketua sementara Sidang Paripurna DPR RI tersebut, Popong Otje Djundjunan, yang merupakan anggota tertua asal Jawa Barat, melihat kegaduhan itu sampai-sampai membenarkan komentar mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menyebut DPR sebagai taman kanak-kanak, bahkan ada yang menyebutnya sebagai di bawah TK alias play group.
Bila kita bandingkan DPR saat ini dengan era Orde Baru, benar-benar asal berbeda. Di masa Orde Baru, mereka yang akan menjadi anggota DPR harus menjalani uji kelayakan politik alias screening yang dilakukan Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) yang kini menjadi BIN. Sejak era reformasi, justru DPR yang melakukan uji publik alias fit and proper test untuk menguji para calon duta besar, para calon pejabat di lembaga nonstruktural (LNS) seperti calon anggota Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ketua PPATK, anggota Komisi Penyiaran Indonesia, dan anggota Komisi Pemilihan Umum.
Di era Orde Baru dan Orde Lama, dikenal executive heavy (kekuatan berat ke eksekutif), sedangkan sejak era reformasi menjurus ke legislative heavy (kekuatan parlemen lebih dominan daripada eksekutif).
Di era Orde Baru, meski Golkar (tanpa embelembel partai di namanya) menguasai, posisi Ketua DPR/MPR, sebagian besar komisi dan alat kelengkapan dewan, masih ada anggota partai nonpenguasa yang duduk sebagai Wakil Ketua DPR, di komisi-komisi dan alat kelengkapan dewan. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan masih tampak pada era Orde Baru, seburuk apa pun citra rezim penguasa tersebut di mata sebagian masyarakat. Dengan kata lain, koalisi pendukung Prabowo-Hatta jauh lebih jahat daripada rezim Soeharto yang masih memberi tempat kepada PDI dan PPP untuk punya wakil di jajaran pimpinan dewan, komisi, dan alat ke lengkapan dewan. Lucunya lagi, ini dilakukan kelompok oposisi dan bukan partai penguasa.
Sampai 16 tahun setelah reformasi bergulir pada Mei 1998, masih ada rasa kebersamaan dan kegotongroyongan itu. Namun, sejak kekalahan Prabowo-Hatta pada pemilu presiden langsung Juli 2014 lalu, DPR sekarang sungguh berubah. Koalisi partai yang kalah dalam pilpres itu, tetapi mayoritas dengan 62% kursi di parlemen seba gai hasil dari Pemilu Legislatif 2014, kini ingin mendominasi DPR RI. Tidak ada lagi rasa keber samaan, tidak ada lagi rasa kegotongroyongan. Koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta ini benar-benar ingin menguasai semua posisi di DPR RI, khususnya di posisi pimpinan DPR.
Padahal, koalisi itu saat ini ingin mengubah pilkada langsung ke bukan politik liberal. Karena itu, pilkada melalui DPRD lebih sesuai dengan sila keempat Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Kini kita melihat sendiri betapa tak ada lagi jalan musyawarah mufakat, yang ada ialah adu kuat politik di DPR RI yang juga akan merambah ke MPR RI. Kita masih beruntung ada kekuatan DPD RI sebagai fraksi terbesar di MPR dengan 132 kursi yang dapat menjadi kekuatan pengimbang di MPR RI.
Bila kita melihat komposisi pimpinan DPR RI yang terdiri atas Setya Novanto (Partai Golkar), Agus Hermanto (Partai Demokrat), Fahri Hamzah (PKS), Fadli Zon (Gerindra), dan Taufik Kurniawan (PAN), tampak jelas betapa tidak ada akomodasi politik bagi partai koalisi Jokowi-JK alias mereka melakukan politik sapu bersih. Satu hal yang menyakitkan, ada partai koalisi yang tidak mendapatkan tempat di pimpinan dewan tetapi mau diberikan `tempat terhormat' di jajaran pimpinan MPR, yaitu PPP.
Alasan yang dikemukakan ialah karena PPP mengajukan nama-nama yang tidak diusung secara tunggal oleh partai, tetapi diajukan dua kubu, yakni kubu ketua umum Suryadharma Ali dan kubu ketua umum tandingan Emron Pangkapi. Satu hal yang menarik, pelantikan para pimpinan DPR RI dilakukan dini hari pu kul 03.30, suatu yang tak lazim di dunia. Entah mengapa mereka harus melakukan segalanya dengan amat tergesa-gesa.
Hanya sehari setelah pelantikan pimpinan DPR, Ketua KPK Abraham Samad langsung me nyatakan prihatin atas terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI. Menurut Samad, Novanto memiliki potensi menjadi tersangka dalam empat kasus korupsi yang diduga dilakukannya. Fahri Hamzah juga pernah disebut sebagai anggota DPR yang juga menerima uang dari Muhammad Nazaruddin yang terkait dengan kasus Ham balang. Kerisauan aktivis masyarakat madani juga muncul karena ada kemungkinan bahwa peranan KPK akan dikerdilkan dari salah satu bagian penegak hukum kasus korupsi menjadi hanya bergerak pada pencegahan korupsi dan pendidikan antikorupsi.
Ada pula ketakutan aktivis prodemokrasi bahwa jika koalisi pendukung Prabowo-Hatta itu akan solid sepanjang lima tahun ke depan, ia bisa menjadi penghalang dan bukan seke dar pengimbang kegiatan eksekutif di bawah Jokowi-JK. Selain itu, bila target untuk mengua sai jajaran pimpinan MPR juga tercapai, koalisi pendukung Prabowo-Hatta itu bukan mustahil suatu saat akan mudah melakukan impeachment terhadap Jokowi, atau mengembalikan sistem pemilihan presiden dari langsung menjadi me lalui MPR RI.
Politik yang dinamis Hegemoni dan dominasi kekuatan Prabowo-Hatta di DPR belum tentu merambah ke MPR. Bahkan, di DPR sendiri bisa saja terjadi perubahan drastis dalam tiga minggu atau paling lama enam bulan ke depan.
Ada beberapa alasan yang dapat penulis kemukakan. Pertama, terpilihnya Irman Gusman untuk kedua kalinya sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat mengubah peta kekuatan di MPR RI. Irman bisa sebagai penentu apakah DPD akan mendukung kekuatan politik koalisi Prabowo-Hatta atau koalisi Jokowi-JK.Sebagai seorang pengusaha, Irman tentunya ingin melihat Indonesia tenteram dan damai, prasyarat bagi bergulirnya kegiatan ekonomi yang bergerak cepat.
Kedua, PPP tentunya masih sakit hati karena hanya menjadi pelengkap penderita di koalisi Prabowo-Hatta karena PPP ialah partai paling buncit yang kebetulan memiliki persoalan internal yang belum terselesaikan. PPP bisa saja beralih Senin ini saat pemilihan Ketua MPR atau setelah 23 Oktober pasca-PPP melakukan muktamar.Jika pertarungan di PPP dimenangi kelompok sekjen dan ketua umum yang baru, garis politik PPP bukan mustahil bergerak ke koalisi Jokowi-JK.Amat mungkin duduknya Lukman Hakim Saifuddin tetap sebagai menteri agama pada kabinet Jokowi-JK juga membuka peluang mendekatnya PPP ke koalisi Jokowi-JK.
Ketiga, Partai Demokrat bukan mustahil juga bagaikan bandul bisa bergerak ke koalisi JokowiJK jika Perppu Pilkada didukung PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura serta ada rekonsiliasi politik antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Keempat, musyawarah nasional Partai Golkar pada April 2015 mendatang juga bisa mengubah peta politik di DPR. Sulit bagi Aburizal Bakrie (ARB) untuk tetap terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar karena janji-janji politiknya saat akan menjadi Ketua Umum Golkar tidak dipenuhinya. Kalaupun MS Hidayat terpilih menjadi ketua umum, belum tentu ia akan loyal kepada ARB karena sebagai pengusaha tentunya ia lebih memilih dekat dengan pemerintah seperti pandangan sebagian anggota Kadin lainnya. Pemerintahan tak terganggu Jika analisis penulis itu benar, jalannya pemerintahan Jokowi-JK tidak akan mengalami gangguan yang berarti dari DPR. DPR memang wajib menjadi kekuatan pengimbang eksekutif dalam fungsi pengawasan, dan menjadi mitra eksekutif di dalam proses legislasi dan pembuatan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN).
Kalaupun koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta ini ingin terus membabi buta dalam jejak langkahnya di parlemen, masih ada kelompok masyarakat madani yang akan menjadi pengimbang DPR. Jika pemerintah langkah dan kebijakannya benar-benar untuk kesejahteraan dan keadilan, tentunya akan didukung rakyat. Jika DPR langkah politiknya ngawur dan bertentangan dengan keinginan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, tentunya partai-partai yang salah langkah itu akan mendapatkan ganjaran dan tidak akan dipilih pada Pemilu 2019 mendatang. Di atas langit masih ada langit. Di atas kekuatan DPR, masih ada kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di