Tom Saptaatmaja, Teolog dan Aktivis Lintas Agama
NYEPI pada dasarnya merupakan pergantian Tahun Saka (Isakawarsa).
Nyepi pada 9 Maret tahun ini resmi memasuki Tahun Saka 1938.
Namun, lebih dari sekadar perayaan pergantian tahun, Nyepi juga merupakan hari raya yang disucikan bagi umat Hindu, khususnya bagi hampir tiga juta penganutnya di Bali.
Guna menyambut Nyepi, dilangsungkan beberapa ritual, seperti Melasti, Tawur Kesanga, dan Upacara Yoga Samadhi dengan empat pantangan wajib, yakni amati geni atau berpantang menyalakan api, amati karya atau menghentikan aktivitas kerja, dan amati lelanguan atau berpantang menghibur diri dan tidak menikmati kesenangan hedonisme, serta amati lelungan atau pantang bepergian.
Lalu, sehari setelah Tahun Baru Saka, dilangsungkan acara Ngembak Geni.
Segenap keluarga keluar dari rumah masing-masing dan bermaaf-maafan dengan tetangga dan kerabat dalam suasana jiwa dan raga yang telah bersih.
Dalam rangkaian ritual Nyepi tersebut, kita bisa melihat betapa umat Hindu berusaha melakukan introspeksi dan penyucian diri serta pertobatan agar terhindar dari kuasa kejahatan.
Dengan jiwa raga yang suci, umat Hindu mencoba menjaga harmoni dengan Sang Pencipta dan alam semesta (semua makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tanaman).
Dengan demikian, Nyepi berusaha menjaga keseimbangan, mengupayakan harmoni, dan memberi kontribusi positif bagi semesta.
Berbicara tentang kontribusi umat hindu, sudah pasti kita harus mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan.
Provinsi Bali, misalnya jelas sudah mengharumkan nama Indonesia dalam tata pergaulan dunia, berkat pariwisata dan warisan kultural mereka.
Tanpa Bali, jelas ada lubang dalam mozaik Indonesia.
Tanpa Bali, Indonesia yang amat majemuk ini pasti terasa kurang lengkap. Bali telah memperkaya khazanah kebinekaan kita.
Meski sebagian besar kita tidak merayakan Nyepi, seiring Nyepi, kita bisa ikut menjaga dan merawat kemajemukan kita sesuai slogan atau moto, Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda, tetapi tetap satu).
Slogan itu diambil dari Kakawin Sutasoma karya Empu Tantular (1380, yang lengkapnya tertulis, "Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa" (Berbeda-beda cara beragama, tetapi semuanya satu dalam kebenaran tertinggi).
Masa depan dan kemajuan Indonesia sangat ditentukan sejauh mana para warganya masih mampu menghargai kemajemukan dan menyikapi perbedaan.
Presiden Pertama RI Bung Karno pernah bertanya kepada sejarawan UGM Prof Slamet Muljana, "Kira-kira penghambat terbesar apakah yang paling merintangi Indonesia untuk menjadi negara maju?".
Sejarawan kelahiran Yogyakarta 21 Maret 1929 itu menjawab, "Penghambat terbesar itu adalah adanya ideologi atau keyakinan yang antikebinekaan."
Tidak mengherankan jika para pendiri bangsa ini begitu menggarisbawahi pentingnya moto Bhinneka Tunggal Ika yang berangkat dari kenyataan kemajemukan negeri ini
Kebinekaan Indonesia terlihat nyata dalam ras, etnik, agama, kepercayaan, warna kulit, bahasa, dan tradisi.
Semua bentuk kebinekaan itu menjadi modal sosial yang amat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebinekaan agama dan kepercayaan sangat mudah dijumpai di masyarakat.
Masyarakat terdiri dari beragam penganut agama. Tidak mengherankan dalam hukum positif kita, sampai tertuang jaminan akan kebinekaan dan kebebasan bagi setiap warga bangsa untuk meyakini atau memeluk agama yang dipilih serta menghargai pilihan orang lain.
Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga, negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Hak kebebasan beragama dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Hak beragama diakui sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun berdasarkan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Konsekuensi dari adanya jaminan tersebut, setiap orang wajib menghormati kebebasan beragama orang lain (Pasal 28J ayat (1) UUD 1945).
Di sisi lain, negara bertanggung jawab untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia (Pasal 28I ayat (4) UUD 1945).
Negara juga harus menjamin bahwa seseorang tidak diperlakukan secara diskriminatif atas dasar agama yang diyakini dan ibadat yang dijalankannya (Pasal 28I ayat (2) UUD 1945).
Karena itulah, demi cita-cita meraih kemajuan bangsa, kita harus pandai mengelola kebinekaan dengan sedini mungkin mematikan benih-benih intoleransi dan terus menggiatkan semangat membangun dialog dan toleransi yang jujur.
Dialog di sini jelas bukan untuk membicarakan ajaran dasar, dogma, atau akidah keimanan.
Dialog di sini lebih merupakan upaya untuk bertemu, menyapa dalam perjumpaan yang hangat, dan saling menghargai, serta mendiskusikan berbagai macam isu kebangsaan dan kemanusiaan.
Lewat perjumpaan seperti itu, kita berharap ke depan jangan ada lagi penganut agama apa pun di negeri ini yang disudutkan.
Rumah NKRI harus menjadi rumah nyaman bagi setiap warganya sehingga tiap-tiap umat bisa berpartisipasi untuk memberikan kontribusi terbaik.
Maka, setiap pemeluk agama perlu terus didorong mengupayakan dialog, kerja sama, dan segala bentuk interaksi positif, bukan menyandera agama sebagai kekuatan pemecah belah dan antikebinekaan karena kita tinggal dalam satu bumi yang sama yang diciptakan Satu Pencipta.
Dialog itu harus jujur. Perlu dijauhkan pemikiran seolah 'semua agama sama saja, tanpa ada perbedaan sama sekali'.
Namun, kita juga jangan jatuh dalam semangat memutlakkan perbedaan.
Tujuan dari dialog ini ialah untuk mengembangkan saling pengertian dan menjaga agar semangat keindonesiaan kita tidak melapuk.
Dalam hal ini, mari belajar dari Bali.
Di provinsi yang mayoritas Hindu, komunitas Katolik di Palasari atau umat Islam di Singaraja, Bali Utara, bertahun tahun hidup damai dengan mayoritas Hindu.
Itulah kontribusi Bali dan umat Hindu yang layak kita teladani demi menjaga Indonesia.
Sudah saatnya kita tidak terus diganggu masalah berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), tetapi fokus pada upaya meraih kemajuan bangsa dan kesejahteraan para warganya.
Selamat Hari Raya Nyepi bagi saudara-saudara umat Hindu di Tanah Air.
Cek Berita dan Artikel yang lain di