Lely Arrianie, Dosen Komunikasi Politik Universitas Bengkulu Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta
PESTA politik Munaslub Golkar baru saja usai digelar. Baru saja juga terpilih seorang Setya Novanto yang keberadaannya akhir-akhir ini menjadi sorotan publik karena kasus 'papa minta saham' yang menghebohkan itu. Namun, inilah realitas panggung politik Golkar hari ini, yang setelah berlelah-lelah menghadapi konflik internal, maju mundur dalam gugatan hukum untuk mengukuhkan keabsahan kelompok yang mengklaim sebagai pemimpin sah di partai itu, atau bolak-balik mencari mediator yang bisa menjembatani konflik dan perpecahan di tubuh partai, akhirnya sepakat menggelar munaslub bersama. Berproses mencari cara penyatuan yang sejatinya digagas bukan karena kapasitas dan keberadaan orang atau kelompok lain di luar parpol, nyatanya, realitas politik yang dihadapi Golkar mengisyaratkan bahwa Golkar masih bisa dinyatakan sebagai partai yang tidak berdaya mengelola kader.
Polarisasi dukungan
Golkar memang berhasil mengukuhkan model demokrasi pemilihan nyaris tanpa gaduh dalam munaslub kali ini. Namun, bukan berarti lepas dari bising dan prejudice politik berbagai kalangan yang memahami benar proses perjalanan Golkar untuk sampai kepada munaslub. Di atas kertas ada delapan kandidat yang bertarung, tapi polarisasi dukungan terbaca sejak awal hanya akan menyekat dua orang saja, yakni Setya Novanto dan Ade Komarudin.
Parahnya, ada dikotomi pengelompokan dan polarisasi dukungan yang membelah dua figur tersebut. Setya Novanto didukung Luhut Pandjaitan dan Ade Komarudin didukung Jusuf Kalla. Meskipun dikotomi yang melahirkan dukungan semacam ini sah-sah saja dalam kontestasi politik, yang menjadikan berbeda ialah, biasanya Istana sepakat dalam satu dukungan. Itu terjadi sejak zaman Orba saat pemerintah mendukung PDI Soerjadi ketimbang Megawati, atau saat Presiden SBY lebih mendukung Muhaimin daripada Ali Masykur Musa di PKB. Hanya satu kandidat untuk satu dukungan di Istana.
Akan tetapi, fenomena Golkar mengisyaratkan suara yang berbeda dari satu pintu Istana pemerintahan dan itu yang menyebabkan pilah-pilih dalam proses berpolitik di tengah arena munaslub ini sebenarnya mudah dibaca ke arah mana hulunya. Hanya, persoalannya tidak semua sepakat secara bulat ke arah satu dukungan karena semua calon tetap berspekulasi untuk terus maju meski akhirnya tak bisa melaju.
Perolehan suara dukungan yang disyaratkan 30% untuk memenangi kontestasi atau maju pada putaran kedua dengan selisih jumlah suara yang cukup signifikan antara Setya Novanto yang memperoleh 277 suara dan Ade komarudin yang memperoleh 173 suara mengisyaratkan kontestasi dukungan terhadap Setya Novanto demikian masif. Tentu saja, apabila dibaca dengan sebaran perolehan suara calon lainnya yang variasinya bahkan jika diambil suara seluruh pendukung enam calon itu, lalu diberikan kepada Ade Komarudin pun tetap tidak mampu membuat Ade komarudin menang.
Itulah barangkali yang menyebabkan Akom harus 'dewasa berpolitik' lalu memutuskan untuk tidak melaju ke putaran kedua yang cara 'elegan' itu justru menempatkan Akom bukan sebagai orang yang 'dikalahkan'. Ini juga sebuah pembelajaran politik yang bisa dilihat sebagai model kompromi yang cukup ideal, di tengah arus persaingan perebutan kekuasaan dalam berbagai segi dan panggung politik lainnya.
Golkar dan Setya Novanto
Apa yang sebenarnya terjadi dalam Munaslub Golkar kali ini seolah dukungan suara begitu bulat pada Setya Novanto di tengah arus persaingan kader-kader muda potensial yang seharusnya dilirik partai itu. Satu jawabnya, Setya Novanto disokong dukungan maksimal kekuatan lain yang mampu mengompromikan ide dan kepentingan Golkar secara simbiosis mutualis. Niemi (1969) pernah menemukan bahwa dalam banyak konflik di parpol, ada kesepakatan level kedua yang tidak menghilangkan ketidaksepakatan substantif. Namun, mekanisme agregasi dan campur tangan pihak lain justru bisa menghasilkan konsensus bulat.
Nah, barangkali pilihan politik terhadap Setya Novanto di tengah arus kontradiktif figur Setya Novanto itu sendiri tidaklah penting dibaca kelompok elite di Golkar tersebut, termasuk oleh para pemilihnya yang punya hak suara untuk menentukan pilihan itu. Akan tetapi, isu politik uang yang diduga calon ketua umum lain barangkali masih menjadi unsur penting tentang keterpilihan tokoh dalam sebuah parpol meski hal itu mungkin hanya terjawab ke depan oleh mereka sendiri.
Akan tetapi, apa boleh buat, dengan sangat semringah Setya Novanto menerima kemenangan itu (tentu saja bangga). Namun, di tangan Setya Novanto pertaruhan politik Golkar di tengah konstituen dan kadernya atau calon pemilih yang akan mengapresiasikan kepentingan dan aspirasi politik tentu harus dibaca berulang oleh Golkar. Artinya, Setya Novanto boleh menang dan mengendalikan sepak terjang partai itu, tapi beringinnya telanjur menjadi gersang karena figur Setya Novanto yang masih menyisakan beban politik dengan kasus yang dihadapinya, yang boleh jadi oleh Golkar dan jajarannya dianggap selesai, tapi tidak oleh publik. Bukan jajaran Golkar yang akan memilih partai itu ke depan, melainkan publik.
Jadi pekerjaan rumah mahabesar bagi Setya Novanto tidak hanya rekonsiliasi internal partai karena komitmen ke publik jauh lebih penting. Rekonsialisasi bisa membuat mesin partai bekerja maksimal memberi dukungan atas situasi tidak layak terhadap segala kemungkinan panggung politik Setya Novanto dilecehkan. Tidak kalah penting ialah bagaimana cara Setya Novanto meyakinkan publik yang menggerus kepercayaan terhadap kedigdayaan Golkar yang nyaris hancur lebur. Itu bukan sekadar konflik internal, melainkan juga akan menjadi mata pilih program yang harus cerdas dikelola Setya Novanto ke depan.
Koalisi dan pilihan politik
Bagaimana cara Golkar mengembangkan isu tentang jalan politik Golkar untuk 'mendukung' pemerintah, bagi masyarakat awam sekalipun itu dapat dibaca sebagai sebuah cara aman bagi Golkar untuk memasukkan melodi dan tarian politik mereka. Banyak soal yang terjadi dengan Golkar saat berkoalisi dengan pemerintahan SBY sebelumnya bahwa Golkar tidak murni berkoalisi, tidak ikhlas mendukung, banyak kepentingan pemerintah yang seharusnya bisa disinergikan di parlemen melalui kekuatan politik Golkar. Nyatanya, saat itu dipertentangkan baik oleh elite maupun kader Golkar sehingga berpayung bersama dalam satu koalisi dengan Golkar, Demokrat tetap basah kehujanan.
Lees Marshment (2005) menyatakan kebutuhan untuk berkoalisi dalam sistem multipartai yang menganut sistem pemilu proporsional dapat membuat partai harus mengorbankan kepentingan partai atau paling tidak untuk menahan diri dalam membuat kebijakan yang menarik bagi pemilih. Atau sebaliknya, jika terjadi konflik, justru peta koalisi bisa berantakan dan peserta koalisi akan saling mengecam satu sama lain. Jika teori ini dipahami Golkar dan tidak ditutupi motif tertentu, sebenarnya pilihan terbaik Golkar ialah membangun model politik akomodatif terhadap kepentingan pemerintah dan tidak harus menyatakan diri sebagai pendukung.
Namun, itulah realitas politik kedua hari ini, sama halnya ketika hari-hari lalu Golkar seperti menjadi kekuatan mahabesar bagi Koalisi Merah Putih yang berseberangan dengan pemerintah. Nyatanya, tidak akan pernah ada koalisi permanen dalam politik. Karena politik itu sejatinya hanya pertemuan dan pertentangan dua kepentingan, hasil akhirnya ialah kompromi. Kompromi dari apa? Kompromi yang dipertemukan dan dipertentangkan dalam kepentingan politk tadi. Akan tetapi, mari kita lihat saja apakah dukungan itu pun hanya akan seumur jagung, sama halnya dukungan Golkar pada Koalisi Merah Putih.
