Petugas menggiring Jessica Kumala Wongso ke tahanan usai diperiksa di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. (foto: MI/Atet Dwi Pramadia)
Petugas menggiring Jessica Kumala Wongso ke tahanan usai diperiksa di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. (foto: MI/Atet Dwi Pramadia) ()

Logika di Cangkir Kopi Sianida

02 Februari 2016 20:51
Reza Indragiri Amriel, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
 

 
SESUAI kewenangannya, berpekan-pekan setelah kejadian tewasnya Wayan Mirna Salihin akibat menenggak kopi yang telah dibubuhi sianida, polisi menetapkan J sebagai tersangka.
 
J berkukuh tidak melakukan perbuatan seperti yang disangkakan. Sebagai sebuah tahapan dalam proses penegakan hukum, langkah kepolisian menetapkan J sebagai tersangka patut dihormati.
 
Lewat penetapan tersebut, polisi memperlihatkan kesungguhannya untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan jaminan rasa aman.
 
Caranya, polisi berusaha meringkus orang yang disangka sebagai penjahat, memulihkan keadilan korban, sekaligus meredakan kegundahan masyarakat.
 
Penetapan tersangka adalah kewajaran belaka, bahkan sudah sepatutnya kepolisian dalam kerja pengungkapan kasus memiliki nama-nama yang diduga telah melakukan perbuatan jahat.
 
Kendati demikian, sulit dielakkan, begitu sampai ke telinga publik, sebutan 'tersangka' mengalami pemburukan makna.
 
Sentimen negatif terhadap J pun berubah menjadi penghakiman, baik oleh publik maupun media.
 
Karena itu, yang perlu dijernihkan ialah pemahaman khalayak.
 
Betapa pun J telah ditetapkan sebagai tersangka, tidak serta-merta dia pasti akan menjadi terdakwa.
 
Lebih jauh, juga tidak ada kepastian--apalagi keharusan--bahwa J selaku tersangka bahkan terdakwa niscaya akan divonis bersalah sehingga berstatus terpidana.
 
Dua poin yang sudah menjadi keyakinan sebagian kalangan dan kini berputar-putar di ruang publik.
 
Pertama, J adalah pelaku. Kedua, Mirna adalah korban.
 
Jawaban finalnya akan ditentukan di ruang persidangan suatu saat nanti.
 
Namun, menyelisiknya dari perspektif keilmuan, ada pemikiran yang boleh jadi memunggungi pandangan publik dan kerja kepolisian.
 
Logika penggunaan racun
 
Anggapan bahwa J adalah pembubuh sianida ke dalam kopi tampaknya bertitik tolak dari paradigma segitiga kejahatan.
 
Paradigma ini menetapkan bahwa suatu aksi kejahatan pasti menyertakan unsur sasaran (korban), lokasi (tempat kejadian perkara), dan pelaku.
 
Agar pemahaman tentang peristiwa kejahatan bisa bundar sempurna, pemetaan terhadap ketiga unsur tersebut harus bisa dilakukan.
 
Berdasarkan paradigma tersebut, karena korban berada di situ dan lokasinya di situ, terbentuklah asumsi bahwa pelakunya pun pasti berada di situ.
 
Penyederhanaan dalam penerapan paradigma segitiga kejahatan ini menjadi problematis pada kasus kopi sianida.
 
Seseorang yang berencana melakukan pembunuhan, sebelum melancarkan aksinya terlebih dahulu menimbang-nimbang alat (sumber daya) kejahatan yang akan ia gunakan.
 
Ia bisa menggunakan pisau, celurit, parang, atau pun tangan kosong.
 
Pemakaian instrumen kejahatan seperti itu mengharuskan pelaku berhadap-hadapan secara langsung dengan korbannya.
 
Karena berada dalam jarak dekat, serangan jahat bersifat frontal.
 
Berbeda dengan racun.
 
Pembunuh memilihnya sebagai alat pembunuhan karena ia ingin mengambil jarak dari targetnya.
 
Ia tidak ingin menyerang secara frontal.
 
Ia tidak ingin korban mengetahui penyerangannya.
 
Pelaku juga tidak mau aksinya disaksikan oleh para saksi mata dan terekam kamera.
 
Misi menghindari pertanggungjawaban pidana sedemikian rupa terpenuhi oleh racun.
 
Dengan menggunakan racun, asosiasi antara korban dan pelaku bisa diputus.
 
Jadi, bertentangan dengan logika tersebut apabila pembunuh memakai racun, tapi pada saat yang sama menongkrongi korbannya dalam jarak sebegitu dekat.
 
Atas dasar itu, penerapan paradigma segitiga kejahatan dalam kasus kopi sianida dapat dikoreksi.
 
Korban di situ, lokasi di situ, tetapi berkat keandalan racun sebagai instrumen kejahatan, pelaku tidak berada di situ.
 
Lebih spesifik lagi, orang yang memasukkan sianida ke kopi tidak berada di satu meja dengan orang yang meminum kopi tersebut.
 
Perbandingan sarana, sasaran
 
Penarikan simpulan yang mudah ditarik ialah ketika sebab dan akibat diyakini berada pada garis linear.
 
Garis itu merentang tanpa ada faktor-faktor pengganggu di antara kedua titiknya.
 
Dibawa ke dalam konteks kasus kopi beracun, karena seseorang kehilangan nyawa setelah meminum kopi beracun, maka simpulannya ialah orang dimaksud memang incaran orang yang menaburi kopi tersebut dengan sianida.
 
Ada pertanyaaan di situ.
 
Pembunuhan dengan menggunakan racun bisa dipastikan merupakan pembunuhan berencana.
 
Amat sangat terlalu muskil ada orang yang menenteng-nenteng zat berbahaya seberat 15 gram, lalu sekonyong-konyong berpikiran untuk membunuh orang lain dengan zat tersebut.
 
Sebagai pelaku pembunuhan berencana, ia berpikir secara rasional.
 
Artinya, pelaku menimbang-nimbang kesetimbangan antara tujuan kejahatan dan instrumen kejahatannya.
 
Logis, ia akan memilih sarana yang senilai dengan sasarannya.
 
Sianida bukan zat atau racun yang bisa dibeli di toko swalayan.
 
Tahu akan efeknya yang sangat berbahaya, di sekian banyak negara pembelian sianida hanya bisa dilakukan via daring.
 
Di situ, calon pembeli harus memasukkan data-data tertentu sebagai verifikasi bahwa ia memang berkewenangan untuk membeli sianida.
 
Safeguard semacam itu menegaskan bahwa sianida adalah zat eksklusif yang tidak bisa diperoleh sembarang orang.
 
Semakin luar biasa karena sianida yang dipakai untuk menghabisi korban di kafe tersebut, berkali-kali lipat dari takaran minimal yang sudah cukup untuk membuat orang tewas seketika.
 
Pada sisi itulah, sianida 15 gram--sebagai zat luar biasa--tidak sebanding dengan korban.
 
Korban, sebagaimana manusia lainnya, memiliki satu nyawa yang tak ternilai harganya.
 
Akan tetapi, dari segi status sosial, seperti diwartakan media, korban tampaknya adalah individu biasa seperti kebanyakan orang.
 
Ia bukan pemangku jabatan prestisius, terlibat skandal, menyimpan rahasia besar, dan ciri-ciri orang berstatus sosial tinggi lainnya.
 
Sianida dengan takaran ekstrem tidak berada di level yang setara dengan korban.
 
Untuk menghabisi korban yang berstatus sosial biasa, sianida apalagi seberat itu kelewat dahsyat.
 
Ini bukan kalkulasi kejahatan yang benar-benar rasional dalam sebuah aksi pembunuhan yang disebut berencana.
 
Atas dasar itu, sebuah spekulasi yang tidak linear dapat diajukan.
 
Bahwa, alat pembunuhan berupa sianida sekian belas gram itu tidak ditujukan ke korban.
 
Dengan kata lain, korban patut diduga merupakan korban salah sasaran.
 
Ia berada di waktu yang salah, di tempat yang salah, dan meminum zat yang kiranya dialamatkan untuk orang lain (target yang sesungguhnya diincar oleh pelaku).
 
Kepada polisi, kita percayakan pengungkapan kasus kopi sianida setuntas dan seprofesional mungkin.
 
Allahu a'lam.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase kematian mirna

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif