Ketua MPR RI Zulkifli Hasan dalam Simposium Nasional MPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta/MI/Susanto
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan dalam Simposium Nasional MPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta/MI/Susanto (Sobih AW Adnan)

Taajul ala Pak Zul

Sobih AW Adnan • 22 Januari 2018 22:55
Jakarta: Keburu menyimpulkan, dalam bahasa Indonesia lampau disebut taajul. Ia diserap dari bahasa Arab yang serumpun dengan lafal takjil, mempercepat berbuka ketika berpuasa.
 
Lema ini, mungkin agak pas jika digunakan untuk mengomentari pernyataan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan tempo hari. Tuduhan mengenai adanya lima fraksi di DPR yang menyetujui keberadaan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan pernikahan sejenis, terkesan amat politis.
 
Menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Pak Zul, sapaan akrab pentolan Partai Amanat Nasional (PAN) itu, akan lebih elok jika berbicara mengenai posisi dan perkembangan pembahasan RUU KUHP, bukan malah menyajikan hal yang bernilai sangat sensitif, tanpa dibarengi data yang pasti.
 
Meski belakangan mengelak, toh pernyataan itu sudah telanjur bikin gaduh. Pak Zul, atau politisi siapapun, sudah semestinya menimbang omongan dan pernyataan, dengan lebih hati-hati. Detail
Pernyataan Zulkifli, tentu tak cuma mendapat respons masyarakat luas. Lebih dari itu, anggota parlemen yang terlibat dalam peristiwa sebenarnya menganggap dugaan itu amat jauh panggang dari api.
 
Perkaranya, jangankan Zulkifli Hasan, keterwakilan fraksi PAN dalam pembahasan yang dimaksud pun dikabarkan nihil. Disampaikan pula, tak ada pembahasan khusus soal LGBT, yang ada, rapat kelanjutan mengenai RUU KUHP yang memang tengah digodok DPR bersama pemerintah.
 
Dalam rapat Tim Perumus RKUHP yang dihadiri PPP, NasDem, Golkar, PKS, PKB, PDIP, PD, dan Gerindra itu, semuanya sepakat bahwa pengaturan perbuatan asusila akan diperluas. Dan dalam membahas rancangan delik perbuatan cabul, jika semula perilaku - termasuk LGBT- hanya dapat dipidanakan ketika menyasar anak di bawah umur, kini tindakan pelecehan terhadap sasaran dewasa pun bisa diganjar dengan hukuman serupa.
 
Pak Zul, barangkali tak sempat memahami secara detail informasi yang sampai ke telinganya. Atau bisa juga, persis dugaan Formappi, memang begitu cara dia meraih simpati melalui isu-isu yang sensitif.
 
Seiring menyeruaknya pro-kontra pernyataan Pak Zul terkait LGBT, tak berselang lama, toh, ia juga singgung pernyataan soal sensitifitas agama.
 
Ketua Umum PAN ini bilang, pasca diakuinya aliran kepercayaan dalam sistem administrasi negara melalui dikabulkannya uji materi tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) oleh Mahkamah Konstitusi (MK), jumlah umat Muslim di Indonesia merosot.
 
Pernyataan semacam itu, tentu, tak berdampak sembarang. Jika salah mengartikan, tak ada manfaat selain kegaduhan.
 
Sensitif
Pernyataan-pernyataan Zulkifli, banyak yang tak yakin sekedar keliru ucap. Terlebih, langkah zigzag ini, terlihat seiring seirama pula dengan strategi partai yang sedang berada dalam kendalinya.
 
Memandang PAN, tak sedikit pula yang kebingungan. Sulit ditebak posisinya secara pasti, partai koalisi, atau oposisi.
 
Dianggap koalisi, tak jarang sikap partai berlambang matahari ini memilih berseberangan dengan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah. Dibilang oposisi, PAN masih ambil jatah kuasai salah satu kursi menteri.
 
Baca: [Fokus] Menimbang Kesetiaan PAN
 
Selebihnya, terlepas sengaja atau tidaknya Zulkifli melemparkan pernyataan-pernyataan bermuatan sensitif, langkah ini, bukan sesuatu yang asing dalam sebabak permainan politik.
 
Firmanzah dalam Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas (2007) menyebut hal itu sebagai sebuah jalan pintas yang sesekali ditempuh pelaku politik. Biasanya, hal itu muncul ketika sebuah perangkat dan kendaraan yang digerakkan dianggap sudah tak bisa diandalkan.
 
Tak ada lagi pertarungan di ranah program dan gagasan. Yang dinilai lebih bisa dan lebih cepat membakar, ialah membangun image politik demi meraih dukungan kelompok masyarakat yang cenderung memakai pendekatan emosional.
 
"Image politik yang berkembang adalah dimensi seperti munculnya mitos, simbol, streotipe, sentimen-sentimen dalam masyarakat, cerita kepahlawanan yang kebenarannya sulit dibuktikan," tulis Firmanzah.


Di Barat sekalipun, trik ini tak sepi. Ketimbang menyampaikan program dan gagasan yang begitu lama terbayar dukungan, memosisikan diri dalam isu-isu tertentu, dianggap lebih jitu.


Yang paling dikenal, pendekatan yang pernah dilakukan kandidat Presiden Prancis dari partai sayap kanan 'Front Nasionalist', Le Pen pada 2002. Dengan cara serupa, ia berhasil naik ke putaran dua.
 
"Dia menggunakan isu sensitif atas kehadiran kaum imigran dari Afrika Utara (Maroko, Aljazair, dan Tunisia)," tulis Firmanzah, masih dalam buku yang sama.
 
Di Indonesia, isu LGBT ini sama rawannya dengan SARA dan desas-desus kebangkitan PKI. Menuding Pak Zul dan PAN berada di belakangnya, tentu tergolong taajul juga. Tapi, mengkritik politisi dan pejabat publik agar lebih hati-hati mengeluarkan pernyataan, menjadi kewajiban semua orang.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase kontroversi lgbt

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif