Antikeberagaman kian Mencemaskan
Antikeberagaman kian Mencemaskan ()

Antikeberagaman kian Mencemaskan

29 Maret 2017 08:17
SIKAP antikeberagaman di negeri ini kian hari kian menjadi. Ia semakin mencemaskan karena tak lagi mengenal ruang dan waktu. Pelaku dan korbannya pun tak terbatas kelas dan usia. Sungguh, bangsa ini tengah diuji. Bangsa ini telah lama menerima dengan penuh kesadaran bahwa kebinekaan ialah kemestian. Bangsa ini juga sudah membuktikan eksistensi di tengah keberagaman. Bangsa ini bahkan meyakini kemajemukan ialah modal besar untuk menjadi bangsa yang besar. Namun, kini kebinekaan, keberagaman, dan kemajemukan itu menghadapi ancaman besar, sangat besar. Oleh sebagian orang, oleh sebagian kelompok, kebinekaan sebagai penopang hidup NKRI disoal dan hendak diruntuhkan. Sikap, tabiat, dan perilaku intoleransi tumbuh subur, merebak seiring dengan sesat pikir bahwa merekalah yang paling benar dan yang lain salah.
 
Antikeberagaman kian tak terkendali ketika pola pikir yang keliru itu dipaksakan dalam kontestasi politik. Agama yang suci dan sakral pun dibajak lalu dijadikan amunisi untuk menghabisi lawan yang ujung-ujungnya hanya untuk meraup kekuasaan. Pilkada DKI Jakarta merupakan contoh gamblang, gambaran yang terang benderang betapa antikeberagaman betul-betul menjadi ancaman tingkat dewa. Celakanya lagi, sikap antikeberagaman kini mewabah ke mana-mana. Tak cuma orang dewasa, anak-anak telah pula terpapar virus jahat itu. Dalam video dengan tagar #Indonesiamoveup yang belakangan beredar luas di media sosial, misalnya, beberapa anak berseragam sekolah dasar dengan penuh semangat meninggikan panji-panji agama tertentu.
 
Fenomena antikeberagaman di kalangan anak-anak juga dibeberkan salah satu orangtua yang anaknya menjadi korban kebencian teman-temannya karena dia mendukung calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Dalam testimoninya di media sosial disebutkan anak-anak itu mengafirkan sang buah hati hanya lantaran berbeda pilihan. Kita prihatin, bukannya mereda, antikeberagaman justru semakin merajalela. Ibarat sel kanker, ia terus berbiak ke mana-mana tanpa mengenal batas usia. Tak cuma remaja, kalangan dewasa, atau orang tua, para bocah pun bahkan telah terpapar.
 
Mewabahnya virus antikeberagaman di kalangan anak didik tingkat pemula jelas mengkhawatirkan. Ketika anak-anak sudah terjangkit bibit-bibit antikemajemukan dan racun kebencian, bagaimana mungkin kita bisa menyandarkan harapan akan keberlangsungan NKRI kepada mereka? Adanya anak-anak dengan pola pikir antikeberagaman ialah peringatan nyata bahwa masa depan bangsa ini tengah dipertaruhkan. Fenomena itu jelas pantang dibiarkan dan merupakan tanggung jawab kita semua untuk menghentikannya. Orangtua harus semakin gigih menanamkan nilai-nilai toleransi kepada putra-putri mereka sejak dini. Para pendidik harus semakin giat mengajarkan ideologi kebangsaan kepada anak didik. Demikian pula, para elite jangan lagi berpolitik dengan mengusik kemajemukan melalui sentimen primordialisme atau agama. Jangan pula melibatkan anak dalam konflik politik semacam pilkada, apalagi ketika pilkada sarat dengan jualan isu SARA. Harus diakui, pilkada DKI Jakarta tak lagi sekadar ajang perebutan jabatan gubernur dan wakil gubernur. Ia telah menjelma menjadi penyemai benih-benih perpecahan di antara sesama anak bangsa. Oleh kaum intoleran, ia dijadikan ajang untuk mengoyak keberagaman.
 
Cukup sudah penonjolan sikap dan perilaku intoleransi di pilkada DKI Jakarta. Ia sudah memakan banyak korban, mulai anak-anak hingga orang yang telah menjadi mayat. Jangan biarkan kelompok antikeberagaman terus mendapatkan panggung untuk unjuk keberadaan dan menyebarkan paham intoleran.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif