Tengoklah hasrat besar para wakil rakyat di negeri ini untuk tak kunjung lelah menumpulkan senjata perang melawan korupsi melalui amputasi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satu senjata yang paling keras hendak dilumpuhkan ialah kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan.
Melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, masih saja ada sejumlah anggota dewan yang ngotot meminta agar segala bentuk penyadapan harus seizin pengadilan. Belakangan, beredar draf revisi yang mengharuskan KPK mendapat izin penyadapan dari dewan pengawas. Padahal, ide keberadaan dewan pengawas masih kontroversial. Diskresi yang dimiliki komisi antirasywah selama ini, bahwa penyadapan bisa dilakukan langsung, hendak dihilangkan.
Padahal, ibarat mulut tempat mengunyah makanan, penyadapan merupakan seperangkat gigi yang kuat dan lengkap yang dimiliki KPK. Karena itu, mencabut kewenangan penyadapan secara langsung dari mereka berarti sama dengan menghabisi gigi-gigi yang lengkap nan kuat tersebut.
Dampak selanjutnya, KPK tidak bisa lagi `mengunyah' dan `menggigit' para koruptor di Republik ini, yang hingga kini masih berjibun jumlahnya. Di antara mereka yang masih eksis bermain di ruang remang itu ialah anggota DPR.
Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Maluku oleh anggota Komisi V dari F-PDIP, Damayanti Wisnu Putranti, menunjukkan praktik lama itu masih saja terjadi. Bahkan, muncul dugaan ada puluhan anggota dewan selain Damayanti yang terkait dengan kasus pembuka 2016 tersebut.
Modus korupsi yang di lakukan pun masih model kuno, yakni korupsi `tiga serangkai' yang diduga melibatkan anggota dewan, birokrat dari kementerian atau lembaga, dan pihak swasta. Dalam modus korupsi seperti itu, semua pihak mempunyai peran masing-masing.
Politikus berperan mengawasi anggaran, birokrat mengatur pemenang lelang, sedangkan pengusaha memberikan sejumlah uang untuk memenangi lelang. Semua peran yang dimainkan itu bisa terungkap karena gigi-gigi KPK lewat penyadapan masih sangat kuat.
Memang benar bahwa dari waktu ke waktu pemberantasan korupsi di negeri ini menunjukkan perbaikan. Itu tecermin dari naiknya skor indeks persepsi korupsi Indonesia berdasarkan survei Transparency International dari 3,4 tahun lalu menjadi 3,6 tahun ini.
Posisi Indonesia dalam urutan negara-negara tebersih dan terkorup di dunia juga membaik. Tahun lalu Indonesia masih di urutan ke-107 dari 167 negara yang disurvei, sedangkan tahun ini melonjak ke posisi ke-88. Itu terjadi, selain karena adanya reformasi di sektor perizinan dan di birokrasi, akibat gencarnya penindakan yang dilakukan KPK.
Namun, skor dan posisi indeks persepsi korupsi tersebut masih berkategori buruk. Indonesia pun masih dikelompokkan sebagai negara yang sangat rawan korupsi.
Karena itu, semua instrumen pemberantasan korupsi mestinya diperkuat, bukan malah dibuat lemah. Perkuat kejaksaan, perkuat kepolisian, tetapi bukan berarti boleh memperlemah KPK yang efektif bekerja salah satunya karena adanya kewenangan menyadap.
Daripada terus-menerus meributkan penyadapan oleh KPK, akan lebih bermakna jika energi anggota dewan diarahkan untuk merancang cara agar pemberantasan korupsi lebih efektif dan cepat. Jadikan halaman belakang panggung politik sama manisnya dengan teras depan.
