Malu kepada Rakyat
Malu kepada Rakyat ()

Malu kepada Rakyat

21 November 2016 06:22
TENGGANG rasa bangsa ini rapuh rupanya. Diuji dengan guncangan perbedaan politik berbumbu sentimen agama secuil saja langsung porak-poranda menjadi dua kutub. Itulah yang hari-hari belakangan ini terjadi di Ibu Kota.
 
Padahal, bangsa ini sejak dulu punya akar kukuh dalam urusan tenggang rasa. Kalau tidak, bangsa majemuk ini tidak cuma terpolarisasi, tetapi juga sejak lama tenggelam tertelan huru-hara zaman.
 
Kalau kita sanggup bertahan sampai hari ini, itu disebabkan banyak anak bangsa negeri ini yang terus merawat tenggang rasa. Tanpa basa-basi mereka mempraktikkan toleransi. Mereka tak berpura-pura bertepa selira.
 
Lihatlah komitmen warga Desa Kertajaya, Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat, merajut perbedaan identitas religi, bahkan sejak Indonesia belum ada. Gereja Kristen Pasundan Palalangon yang berdiri di sana sejak 1801 menjadi wahana warga yang sebagian besar muslim itu untuk berikhtiar menghadirkan toleransi. Lihat pula bagaimana warga Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, merayakan Natal dan Idul Fitri bersama. Sekadar informasi, 93% warga itu beragama Kristen dan hanya 7% muslim, sebuah komposisi tak lazim untuk desa-desa di Pulau Jawa.
 
Bukan cuma dalam kesenangan, dalam kesulitan mereka tetap merawat kebersamaan. Mereka memiliki Rukun Kematian yang menyatukan warga Kristen dan Islam. Permakaman umum di sana pun menyatu tak dicerai-beraikan berdasarkan agama.
 
Toleh juga Desa Pabian, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Di daerah dengan kultur santri yang kuat itu, Gereja Paroki Maria Gunung Karmel berdiri bersisian dengan Masjid Baiturrahmah dan Kelenteng Tri Dharma Pao Xian Lin Kong.
 
Terlalu melimpah model toleransi di tingkat akar rumput untuk disebutkan di sini. Itu semua memamerkan betapa rakyat di desa pandai merawat tenggang rasa, toleransi, tepa selira.
 
Di desa-desa rakyat menunjukkan sejatinya agama itu mempersatukan, bukan mencerai-beraikan. Rakyat di desa paham betul bahwa semua agama mengajarkan toleransi. Tidak berhenti pada pemahaman, rakyat di sana juga mempraktikkannya dalam keseharian mereka.
 
Di Ibu Kota segelintir elite melakukan sebaliknya. Apa para elite di pusat itu enggak malu kepada rakyat di pinggiran?
Kita mengapresiasi Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, para elite politik dan tokoh agama yang belakangan rajin menjalin silaturahim demi memulihkan toleransi dan kebinekaan yang nyaris terkoyak di perhelatan pilkada DKI.
 
Betapa pun simbolisnya, kita menginginkan pertemuan-pertemuan itu menjadi teladan bagi semakin banyak rakyat untuk terus mempertahankan toleransi dan kebinekaan selama-lamanya.
 
Pada 16 November tempo hari masyarakat internasional merayakan Hari Toleransi Internasional. Kita di sini merayakannya dengan berbagai kegiatan mulai parade Bhinneka Tunggal Ika hingga Tolerun atau Tolerance Run di berbagai kota di Indonesia.
 
Kita, terutama para elite, semestinya menjadikan peringatan Hari Toleransi Internasional dan hiruk-pikuk pilkada DKI untuk berkaca diri guna terus merawat toleransi serta kebinekaan demi persatuan Indonesia. Betapa mahal ongkos sosialnya bila demi memenangi pilkada, para elite itu mengorbankan rakyat dan persatuan Indonesia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase toleransi beragama

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif