BILA ada korupsi yang langsung berdampak pada publik, itulah korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-E. Korupsi KTP-E betul-betul menyengsarakan publik.
Publik harus antre berjam-jam bahkan berhari-hari untuk merekam data keperluan KTP-E. Banyak pula warga yang baru mendapat KTP-E bertahun-tahun setelah merekam data mereka. Bahkan, tak sedikit warga yang sejak bertahun-tahun merekam data, tetapi KTP-E tak kunjung mereka peroleh. Belum lagi produk KTP-E yang jauh untuk disebut berkualitas.
Semua kesengsaraan rakyat itu tidak terlepas dari korupsi yang membelit proyek pengadaan KTP-E. Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menyidik dan menyelidiki perkara ini.
Penetapan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, Jumat (30/9), sebagai tersangka menjadi babak baru dalam upaya membongkar dugaan korupsi pengadaan KTP-E yang ditengarai merugikan negara Rp2 triliun dari total anggaran yang mencapai Rp5,8 triliun. Sebelumnya KPK telah menjerat Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Sugiharto sebagai tersangka.
Penetapan tersangka, yang didahului pemeriksaan maraton terhadap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, seakan menjadi gerbang untuk membuka lebih jauh mengenai pengakuan Nazaruddin bahwa ada aliran Rp32 miliar kepada mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Gamawan sempat membantah dan justru Nazaruddin yang diperkarakan Gamawan. Nama lain yang disebut Nazaruddin ialah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.
Korupsi yang terjadi di era pemerintahan sebelumnya itu terang benderang mengganggu kinerja pemerintahan saat ini. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan kinerja Kemendagri dalam menuntaskan pengadaan KTP-E betul-betul terhambat akibat korupsi yang membelit perkara ini. Target perekaman yang mestinya selesai akhir 2015 diperpanjang hingga 30 September, kemudian dimolorkan lagi hingga pertengahan 2017.
Masih ada 14 juta penduduk yang belum terekam untuk program KTP-E, 7 juta di antara mereka ialah warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Beragam persoalan teknis muncul di lapangan, mulai habisnya blangko hingga mesin cetak yang terbatas. Persoalan itu membuat warga tidak antusias memperoleh KTP-E.
Oleh karena itu, kita mendorong KPK segera menuntaskan penelusuran perkara korupsi KTP-E ini. Kita mengapresiasi KPK yang menyatakan akan memanggil Gamawan Fauzi. Kita menunggu KPK membuktikan janji itu.
KPK jangan pernah kehabisan energi keberanian untuk memberangus para pelaku korupsi kebijakan yang jelas-jelas merugikan publik secara langsung ini. Menjerat Irman dan Sugiharto tidak semestinya menjadi ujung.
Membongkar kasus KTP-E bukan sekadar menegakkan hukum dan memberikan efek jera bagi kejahatan korupsi, melainkan juga mempercepat negara ini menertibkan persoalan kependudukan.
Pembenahan administrasi kependudukan menjadi salah satu upaya mencegah korupsi. KPK semestinya proaktif mendorong upaya untuk mewujudkan sistem identitas tunggal yang berbasis elektronik.
Dengan sistem identitas tunggal, seseorang dapat satu nomor dalam pembayaran pajak, program jaminan sosial, pelayanan pendidikan dan kesehatan, juga pencarian pekerjaan. Data KTP-E bahkan bisa digunakan pula untuk verifikasi dalam administrasi kependudukan lain, seperti pernikahan dan paspor, termasuk daftar pemilih untuk keperluan pemilihan umum.
Jika semua berbasis elektronik, separuh persoalan administrasi kependudukan bisa ditertibkan. Lewat integrasi data dalam sistem identitas tunggal, semua informasi individual terkoneksi sehingga jelas dan tidak bisa dimanipulasi.
Tidak lagi ada pemilih ganda dalam pemilihan umum. Upaya pencucian uang dengan modus identitas ganda tidak perlu dikhawatirkan lagi. Identitas ganda juga menyulitkan pelacakan aset serta pencekalan tersangka ataupun terdakwa bepergian ke luar negeri.
