Editorial Media Indonesia
Editorial Media Indonesia ()

Darurat Keilmuan Profesor

24 Februari 2018 07:29
SEBANYAK 3.800 dari 5.366 profesor belum memenuhi kewajiban publikasi menulis jurnal internasional. Kabar itu menyeruak di antara keriuhan berita bencana ekologis di berbagai daerah dan upaya pemberantasan korupsi yang stagnan.
 
Bayangkan, bisa dibilang hanya 1 dari 3 profesor yang menunaikan apa yang menjadi kewajiban mereka. Profesor ialah jabatan akademik tertinggi bagi para pendidik profesional dan ilmuwan. Dengan memegang jabatan tertinggi itu, profesor merupakan mahaguru keilmuan, tempat para pemburu ilmu merujuk.
 
Profesor merupakan motor penggerak transformasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Karya ilmiah berupa jurnal internasional merupakan salah satu indikator pelaksanaan peran tersebut. Kenyataannya, 70% penyandang jabatan profesor tidak memenuhi tuntutan peran yang sudah ditetapkan.
 
Tentu saja, pemerintah menjadi jengah. Pasalnya negara memberikan tunjangan kehormatan yang nilainya hingga tiga kali gaji pokok untuk penyandang jabatan profesor. Dunia keilmuan di Tanah Air pun merugi karena seretnya sumbangsih para guru besar. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengungkapkan lebih dari 60% jurnal internasional yang mengambil lokasi riset di Indonesia ditulis peneliti asing. Angka yang diungkapkan Anthony Reid, profesor emeritus Australian National University College of Asia and the Pacific, bahkan lebih merisaukan. Ia menyebut hanya sekitar 10% jurnal internasional tentang Indonesia yang ditulis peneliti lokal.
 
Banyak penyebab yang membuat kebanyakan profesor mangkir dari kewajiban menulis jurnal internasional, dari budaya menulis yang belum baik, sibuk pada tugas administrasi sebagai dosen, hingga repot mengatur waktu untuk pekerjaan lain di luar lingkungan perguruan tinggi. Belum lagi, alasan klasik, kesulitan dana untuk membiayai riset.
 
Dalih lain, guru besar memang bisa jadi jarang menulis karya ilmiah, tetapi sangat aktif membantu dalam proyek-proyek yang bermanfaat besar bagi masyarakat. Meski begitu, sulit mengukur hasil penunaian kewajiban profesor tanpa indikator yang mudah ditelusuri seperti publikasi jurnal internasional.
 
Lagi pula, dunia akademis tidak bisa lepas dari penulisan karya ilmiah. Ketika menyandang jabatan profesor, seseorang semestinya sudah menjadikan menulis sebagai budaya. Mereka pun harus mampu menunjukkan bahwa mereka layak menyandang jabatan kehormatan sebagai guru besar.
 
Oleh karena itu, tepat bila profesor yang lalai dari kewajibannya mendapatkan sanksi. Mulai November 2019, profesor yang belum memublikasikan tulisannya di jurnal internasional bakal mengalami pemotongan tunjangan.
 
Berdasarkan Peraturan Menristek-Dikti No 20 Tahun 2017, publikasi di jurnal internasional bisa digantikan dengan paten atau hak atas suatu temuan ilmiah.
 
Jika tidak mampu, undur diri saja dari jabatan profesor lalu mengabdikan diri di jabatan lain. Namun, jangan lantas berlaku lancung seperti sejumlah profesor yang terlibat kasus korupsi.
 
Guru besar dituntut mampu menyodorkan solusi berbagai persoalan di masyarakat melalui pendekatan keilmuan. Mereka selayaknya menjadi anutan, bukan justru menjadi beban, apalagi penggarong uang rakyat. Jika mereka menjadi penggarong, itu artinya negeri ini dalam keadaan darurat keilmuan profesor.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase pendidikan

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif