Capres Tunggal
Capres Tunggal ()

Capres Tunggal

05 Maret 2018 07:26
DEMOKRASI mensyaratkan ketersediaan pilihan-pilihan.
 
Demokrasi menolak ketunggalan dan keseragaman pilihan.
 
Bila yang tersedia pilihan tunggal, yang cenderung terjadi kemudian ialah pemaksaan kepada seluruh rakyat untuk menerima satu-satunya pilihan tersebut.
 
Demokrasi menolak pemaksaan dan keterpaksaan. Demokrasi menghendaki partisipasi dan kesukarelaan.
 
Oleh karena itu, ketika dalam pemilihan umum cuma ada satu calon, demokrasi di negara kita menyediakan pilihan lain.
 
Pilihan lain itu ialah kotak kosong.
 
Akan tetapi, sial betul kandidat yang melawan kotak kosong.
 
Bila menang, biasa saja, tak bikin bangga.
 
Bila kalah, malunya setengah mati, terbawa sampai mati.
 
Kekhawatiran cuma ada satu calon presiden pada Pemilu Presiden 2019 mengemuka.
 
Sebagai capres petahana, Jokowi terlalu kuat untuk ditandingi.
 
Menantangnya sama saja dengan bunuh diri.
 
Padahal, dalam politik apa saja bisa terjadi.
 
Capres petahana Megawati Soekarnoputri kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono di Pemilu 2004.
 
Selain SBY, Megawati ditantang tiga capres lainnya.
 
Para penantang tak takut dengan petahana.
 
Sejauh ini Jokowi didukung partai-partai dengan total perolehan kursi di DPR pada Pemilu Legislatif 2014 mencapai 50% lebih.
 
Secara matematis, karena kandidat harus diusung parpol atau koalisi parpol dengan perolehan kursi di DPR minimal 20%, masih tersisa dua calon lagi untuk maju di pilpres.
 
Gerindra, PAN, dan PKS bisa membentuk koalisi mengusung satu capres.
 
Partai Demokrat dan PKB bisa juga membentuk poros baru dan mengusung capres sendiri.
 
Itu artinya Pilpres 2019 bisa saja diikuti tiga capres. Tiga capres ideal untuk meminimalkan polarisasi.
 
Tiga capres baik untuk demokrasi.
 
Dalam berbagai survei Jokowi unggul jauh jika dibandingkan dengan pesaing-pesaing potensialnya.
 
Namun, kata para pengamat, posisi Jokowi belum aman.
 
Itu artinya masih terbuka peluang capres lain untuk menantang dan mengalahkan Jokowi.
 
Di Pemilu 2009, survei-survei memperlihatkan tingkat elektabilitas capres petahana Susilo Bambang Yudhoyono mencapai lebih dari 70%.
 
Fakta itu tak menyurutkan Megawati dan Jusuf Kalla untuk menantang SBY.
 
Apa iya tak ada capres yang berani menantang Jokowi yang elektabilitasnya katanya belum aman?
 
Ada pula wacana menduetkan Jokowi dan Prabowo.
 
Argumentasinya, menduetkan keduanya akan mengurangi polarisasi.
 
Sebaliknya, menduelkan mereka hanya menciptakan perpecahan.
 
Padahal, menurut berbagai survei kredibel, sejauh ini Prabowo penantang terkuat Jokowi.
 
Penantang selain Prabowo bisa dibilang cuma penggembira.
 
Tanpa Prabowo atau kandidat yang diusung koalisi Gerindra, kekhawatiran muncul calon tunggal bisa saja jadi kenyataan.
 
Semestinya tidak ada kekhawatiran munculnya calon tunggal di pilpres.
 
Wacana calon tunggal tidak menguntungkan Jokowi, bisa menjadi bumerang baginya.
 
Itu artinya bisa saja isu capres tunggal sengaja dibangun untuk menyudutkan Jokowi dan kubunya.
 
Wacana menduetkan Jokowi-Prabowo, misalnya, bisa memunculkan serangan balik bahwa Jokowi gemetar menghadapi Prabowo.
 
Lantas muncul anggapan, karena takut menghadapi Prabowo, kubu Jokowi seolah berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan Jokowi sebagai capres tunggal.
 
Celakanya, isu capres tunggal bukan cuma tidak menguntungkan Jokowi, melainkan juga sangat merugikan demokrasi.
 
Demi demokrasi, parpol-parpol yang bukan pendukung Jokowi seharusnya tak perlu ragu menampilkan capres mereka di Pemilu 2019.
 
Jangan takut berkompetisi dengan Jokowi, tapi jangan gunakan hoaks dan ujaran kebencian beraroma politik identitas, politik

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase pilpres 2019

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif