MASALAH etika dan hukum kini bertarung di ruang publik sejak Ketua DPR Setya Novanto dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dimasukkan ke daftar buron, kemudian ditahan. Ketua Umum Partai Golkar itu menjadi tersangka korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.
Atas nama etika, sebagian orang mendesak Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) untuk mencopot Novanto dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Desakan itu tampaknya bertepuk sebelah tangan karena MKD batal menggelar rapat konsultasi dengan semua unsur pimpinan fraksi untuk membahas penahanan Novanto pada Selasa (21/11).
MKD dibentuk DPR dengan kesadaran penuh sebagai lembaga permanen untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kegagalan MKD menggelar rapat bisa ditafsirkan sebagai politik pembiaran agar citra DPR terus terpuruk.
Harus tegas dikatakan bahwa sejauh ini belum ada celah memberhentikan Setya Novanto sebagai Ketua DPR dari sisi perundang-undangan. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), pimpinan dewan diberhentikan dari jabatannya jika meninggal, mengundurkan diri, dan diberhentikan.
Novanto tidak mau mengundurkan diri, malah terkesan ingin mempertahankan jabatannya. Kesan itu muncul setelah ia melayangkan surat bermeterai kepada pimpinan dewan agar MKD tidak bersidang untuk menonaktifkan dirinya. Pemberhentian pimpinan dewan, menurut UU MD3, antara lain jika dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Tidak ada celah memberhentikan Novanto yang masih berstatus tersangka. Apalagi, dalam sejarahnya, DPR pernah dipimpin seorang terdakwa. UU MD3 memberi celah memberhentikan pimpinan dewan oleh partai yang mengusulkannya. Akan tetapi, ketentuan itu juga tidak mutlak.
Bukankah ada pimpinan dewan yang sudah dipecat partainya tapi masih bisa duduk manis? Apalagi, Rapat Pleno DPP Partai Golkar pada Selasa (21/11) memutuskan Novanto tetap sebagai Ketua DPR. Keputusan Partai Golkar pada satu sisi memperlihatkan kekuasaan dan pengaruh Novanto bisa menembus batas dinding tahanan.
Pada sisi lain, keputusan itu bisa dipahami. Toh, tersangka dan terdakwa belum tentu menjadi terpidana sampai ada keputusan hukum tetap. Karena itu, prinsip praduga tidak bersalah harus ditegakkan. Memang, tiba-tiba bangsa ini menjadi bangsa yang sangat menghormati hukum dengan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah.
Padahal, bukankah semestinya orang hanya dijadikan tersangka dan ditahan apabila memang sudah ada bukti-bukti yang sangat kuat? Dengan perkataan lain, penetapan status tersangka dan penahanan justru karena ada praduga bersalah, bukan karena praduga tidak bersalah.
Alur pikir itulah yang digunakan partai politik lain yang langsung memecat kadernya jika menjadi tersangka kasus korupsi tanpa harus menunggu putusan berkekuatan hukum tetap. Sejujurnya dikatakan bahwa alangkah tak eloknya DPR sebagai pilar utama demokrasi dipimpin orang yang sedang bermasalah hukum.
Jauh lebih elok jika para pemimpin memberi teladan, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan tatanan nilai dalam masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
