KONFLIK antarumat beragama sejatinya bukan akibat diversitas budaya atau keliru dalam memaknai kebebasan berekspresi, melainkan diproduksi dan diorkestrasi oleh political entrepreneur demi tujuan kekuasaan.
Adagium di atas terbukti manakala polisi pekan lalu membongkar Saracen, kelompok yang selama ini beroperasi memproduksi ujaran kebencian di media sosial. Semakin terbukti adagium tersebut ketika polisi mencium gelagat pabrik ujaran kebencian yang dikendalikan Saracen terkait persiapan Pemilu Presiden 2019. Polisi mengantongi bukti percakapan tersangka dengan seseorang yang membicarakan persiapan pilpres.
Joko Widodo yang saat ini menjabat presiden dipastikan bakal menjadi kandidat presiden petahana pada Pilpres 2019. Saracen kerap menjadikan Jokowi sebagai sasaran ujaran kebencian berbau agama. Tidak terlalu mengherankan sesungguhnya bila polisi mencium gelagat ujaran kebencian yang diproduksi Saracen terkait dengan persiapan pilpres.
Kita tentu masih terkenang-kenang pilkada DKI yang penuh sesak dengan ujaran kebencian. Ujaran kebencian itu memantik ketegangan di masyarakat. Bukan tidak mungkin ujaran kebencian itu diproduksi dan diorkestrasi oleh political entrepreneur untuk meraih kekuasaan di Ibu Kota.
Political entrepreneur semacam Saracen dan para pemesannya mungkin belajar dari sukses pilkada DKI. Meski serangan ujaran kebencian terhadap Jokowi sudah pernah dicoba pada Pilpres 2014 dan gagal, meluasnya penggunaan media sosial membuat mereka hendak meniru sukses di Pilkada DKI dengan melancarkan ujaran kebencian melalui media sosial tersebut.
Dewasa ini pengguna internet sebagai infrastruktur dasar media sosial di Indonesia mencapai 180 juta orang. Namun, luasnya penggunaan media sosial tak diimbangi literasi media sosial. Walhasil, mereka menjadi target empuk penyebaran ujaran kebencian melalui media sosial.
Kita tak bisa menolak perkembangan dan kemajuan tekonologi digital. Yang mesti kita lakukan beradaptasi dan mengantisipasinya, termasuk dalam konteks penyebaran ujaran kebencian melalui media sosial.
Adaptasi dan antisipasi pertama yang mesti kita lakukan ialah menumbuhkan literasi media sosial supaya masyarakat melek atau cakap dalam menggunakan media sosial. Kita harus melakukan pendidikan politik bahwa menggunakan agama sebagai senjata untuk meraih kekuasaan sangat bertentangan dengan keadaban politik dan moral agama supaya orang tak lekas percaya dengan ujaran kebencian dan memviralkannya.
Adaptasi dan antisipasi lain yang bisa kita lakukan ialah menyusun regulasi yang lebih tegas dan spesifik. Regulasi, misalnya, mesti mengatur siapa pun yang terbukti menggunakan ujaran kebencian dalam pilkada atau pemilu serentak, pencalonan atau kemenangannya akan dianulir atau dibatalkan.
Para pemangku kepentingan mesti tegas menerapkan regulasi. Komisi Pemilihan Umum tak perlu ragu menganulir kandidat yang terbukti melancarkan ujaran kebencian. Mahkamah Konstitusi pun tak usah bimbang menganulir kemenangan kandidat yang unggul karena mengorkestrasi ujaran kebencian.
Pembatalan pencalonan atau kemenangan kandidat barulah penegakan hukum bersifat administratif. Antisipasi terakhir yang mesti dilakukan ialah penegakan hukum pidana. Penyebaran ujaran kebencian jelas perbuatan pidana sebagaimana diatur antara lain dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kita mengapresiasi polisi yang mengungkap perkara Saracen dan menjadikan beberapa orang yang terlibat di dalamnya sebagai tersangka. Kita kini menunggu polisi mengungkap pemesan, pengguna, atau sponsor Saracen.
Adaptasi dan antisipasi penyebaran ujaran kebencian di media sosial melalui literasi, regulasi, serta penegakan hukum kiranya menghadirkan efek jera kepada para political entrepreneur. Political entrepreneur memang harus dibikin jera karena mereka tak ubahnya teroris atau lebih pasnya political terrorist, teroris politik. Sebagaimana teroris, political entrepreuner mengatasnamakan agama untuk mencapai kekuasaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
