KORUPSI di tubuh lembaga peradilan masuk tahap darurat. Disebut darurat karena dari 10 operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Januari hingga Juli 2016, 5 di antaranya melibatkan aparatur pengadilan.
KPK mampu melakukan operasi penangkapan paripurna karena mereka yang ditangkap itu ialah hakim, panitera pengadilan, dan pengacara. Mereka ialah aktor yang bersidang dalam ruang sidang pengadilan. Kasus terbaru, yaitu penangkapan Santoso, panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 30 Juni.
Kita memberikan apresiasi atas kinerja cemerlang KPK. Pada saat bersamaan, kita juga mengelus dada. Ternyata, korupsi di lembaga pengadilan itu merasuk sangat jauh, mulai tingkatan paling bawah di pengadilan negeri hingga mencapai puncaknya di Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir pencari keadilan.
Ada kemiripan pola suap di lembaga pengadilan. Panitera yang nakal bisa bekerja sendiri atau menjadi perantara suap antara hakim dan pihak beperkara di semua tingkatan pengadilan sampai puncaknya di MA.
Kesaksian Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi untuk terdakwa Ichsan Suaidi dan Awang Lazuardi Embat pada pertengahan Mei terang benderang menyebut-nyebut sejumlah nama hakim agung. Hal itu menunjukkan kondisi MA berada dalam keguncangan besar.
Harus jujur dikatakan, sejauh ini belum ada kemauan yang kuat, sangat kuat, dari pimpinan MA untuk membenahi secara menyeluruh lembaga peradilan. Pimpinan MA seolah-olah menulikan telinga dan membutakan mata untuk menyelisik keterkaitan antara pejabat administrasi serta kepaniteraan dan hakim serta hakim agung.
Lebih ironis lagi, tangan pimpinan MA seakan kaku dan kikuk bergerak untuk memberikan sanksi kepada Sekretaris MA Nurhadi yang sudah dimintakan cekal oleh KPK. Bahkan, dalam banyak kasus penangkapan panitera, nama Nurhadi juga disebut-sebut.
Mengharapkan pimpinan MA membenahi lembaga pengadilan sama saja mengharapkan matahari terbit di ufuk barat. Sulit sekali untuk menampik anggapan bahwa korupsi tumbuh subur di tubuh lembaga pengadilan karena ada tangan-tangan tersembunyi yang mengayominya.
Tidak ada cara lain, kita meminta Presiden Joko Widodo selaku kepala negara untuk turun tangan membenahi dunia yudikatif. Kepala Negara harus turun tangan pada saat MA dalam kondisi genting. Bukankah salah satu poin Nawa Cita Jokowi ialah ikut mendorong pemberantasan mafia peradilan? Poin itu yang belum direalisasikan hingga hari ini.
Korupsi ialah kejahatan luar biasa. Lebih luar biasa lagi apabila yang melakukan korupsi ialah penegak hukum itu sendiri. Penegak hukum yang korup sesungguhnya preman bertoga yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula. Cara luar biasa itu ialah Kepala Negara turun tangan sebelum kepercayaan rakyat terhadap lembaga peradilan terjun ke titik nadir. Rakyat tak sudi keadilan dibayar dengan segepok duit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
