UNDANG-UNDANG Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia genap berusia satu dekade pada 1 Agustus 2016.
Usia yang sesungguhnya belum dapat dikatakan panjang untuk ukuran berlakunya sebuah undang-undang.
Keberadaan UU 12/2006 itu telah berhasil mengantarkan bangsa ini keluar dari persoalan diskriminatif, kurang menjamin hak-hak asasi manusia, kesetaraan, serta perlindungan perempuan dan anak.
Tidak ada lagi surat bukti kewarganegaraan RI untuk etnik Tionghoa.
Harus tegas dikatakan bahwa sebuah undang-undang yang baik harus mampu mengakomodasi perkembangan yang begitu cepat.
UU 12/2006 belum sepenuhnya mengantisipasi perkembangan zaman.
Setidaknya ada dua kasus anyar yang mencuat terkait dengan kewarganegaraan.
Pertama, Presiden Joko Widodo memberhentikan dengan hormat Arcandra Tahar dari jabatan menteri energi dan sumber daya mineral karena yang bersangkutan memegang paspor Amerika Serikat dan Indonesia.
Keputusan Presiden patut diapresiasi sebagai bentuk pelaksanaan UU Kewarganegaraan yang menganut asas kewarganegaraan tunggal, satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
Kedua, kasus Gloria Natapradja Hamel yang tidak jadi dikukuhkan sebagai anggota Paskibraka meski telah mengikuti proses seleksi dan latihan berbulan-bulan.
Remaja itu belakangan diketahui memiliki paspor Prancis karena ayahnya warga negara Prancis meski ibunya warga negara Indonesia.
Terkait dengan kasus Gloria, UU Kewarganegaraan mengharuskan seorang anak dari warga negara asing yang menikah dengan warga negara Indonesia didaftarkan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
Meski UU Kependudukan memberi peluang untuk dwikewarganegaraan sampai anak usia 18 tahun, ada aturan orangtua harus mendaftarkan anaknya paling lambat empat tahun sesudah UU Kewarganegaraan diberlakukan.
Dua kasus itu mestinya menjadi dasar pertimbangan masih perlukah Indonesia mempertahankan asas kewarganegaraan tunggal? Hingga saat ini, ada 56 negara di dunia yang telah menyesuaikan kebijakan imigrasi dan kewarganegaraan untuk mengakomodasi diaspora.
Setidaknya, 44 negara telah menerapkan kebijakan dwikewarganegaraan, yang berarti seseorang tidak kehilangan kewarganegaraan negara asal apabila mengambil kewarganegaraan negara lain.
Pemerintah dan DPR, dua institusi pemegang otoritas membuat undang undang, sudah saatnya mempertimbangkan pemberlakuan dwikewarganegaraan dengan melakukan amedemen UU 12/2006.
Apalagi, rencana amendemen UU 12/2006 sudah masuk program legislasi nasional 2015-2019.
Kemajuan teknologi telah menghilangkan batas-batas tradisional sebuah wilayah.
Perpindahan penduduk dalam rangka mencari ilmu pengetahuan dan kesempatan kerja begitu tinggi.
Saat ini ada sekitar 8 juta WNI dan mantan WNI di luar negeri.
Sebanyak 70% di antara mereka masih berstatus WNI, sedangkan 30% lagi sudah pindah kewarganegaraan.
Meski pindah kewarganegaraan, mereka tetap tidak lelah mencintai Indonesia.
Sudah saatnya mempertimbangkan secara matang untuk memberlakukan dwikewarganegaraan.
Revisi UU Kewarganegaraan tetap diletakkan dalam bingkai untuk mempertahankan keindonesiaan orang Indonesia yang berada di luar dan di dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di