KEBERADAAN Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sangatlah strategis. Disebut strategis karena pembentukan lembaga itu di era reformasi sebagai titik temu dua gagasan besar, yaitu demokratisasi dan integrasi nasional. Pada era reformasi menguat tuntutan agar pengisian anggota parlemen mengikutsertakan rakyat pemilih. DPD dibentuk untuk menggantikan keberadaan utusan daerah dan utusan golongan di MPR yang tidak dipilih rakyat.
Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat sehingga terpenuhilah gagasan demokratisasi. Tidak kalah pentingnya, kehadiran DPD bertujuan mengakomodasi kepentingan daerah demi terjaganya integrasi nasional. DPD diharapkan sebagai solusi atas tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah yang jika tidak cermat dikelola, bisa berujung pada tuntutan separatisme. Karena itulah, DPD berperan sebagai representasi kepentingan rakyat di daerah.
Namun, cita-cita luhur pembentukan DPD kini porak-poranda. Harkat dan martabat DPD terjun bebas ke bawah titik nol. Tragisnya, keluhuran cita-cita itu dihancurkan DPD sendiri dan, langsung atau tidak langsung, ada peran Mahkamah Agung (MA). DPD dengan kesadaran penuh menggelar rapat paripurna pemilihan pimpinan berdasarkan peraturan yang sudah dibatalkan MA. Peraturan yang dibatalkan MA ialah Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur perubahan masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5 tahun.
Pemilihan pimpinan itu dilakukan dalam rapat paripurna yang tidak memenuhi kuorum. Pergantian pimpinan yang mengacu pada ketentuan yang sudah dibatalkan MA bisa disebut sebagai kudeta. Agar tidak tampak sebagai kudeta, disusun siasat yang lebih konyol lagi. Masih melalui rapat paripurna yang tidak kuorum, DPD menetapkan Peraturan DPD Nomor 3 Tahun 2017 untuk mengakomodasi putusan MA. Pengesahan peraturan baru itu bersamaan dengan pengesahan ulang pimpinan baru.
Seakan-akan pimpinan baru itu dipilih melalui Peraturan DPD Nomor 3 Tahun 2017. Semakin sempurnalah kehancuran DPD karena perebutan kekuasaan itu dilegalkan MA. Tanpa malu-malu, apalagi merasa bersalah, Wakil Ketua MA Suwardi memandu Oesman Sapta Odang mengucapkan sumpah jabatan sebagai Ketua DPD periode 2017-2019. Oesman Sapta, yang berasal dari Kalimantan Barat, memimpin DPD dengan didampingi dua wakil ketua, yaitu Nono Sampono (Maluku) dan Darmayanti Lubis (Sumatra Utara).
Kita bisa menerima penjelasan resmi MA yang menyebut tindakan Wakil Ketua MA memandu sumpah ialah tindakan administratif. Namun, harus tegas pula dikatakan bahwa hal itu sebagai tindakan keliru yang sangat nyata. Bisa dibayangkan betapa kacau-balau negara ini jika setiap hari ada lembaga negara meminta MA memandu sumpah dan pihak MA menurutinya tanpa terlebih dahulu meneliti apakah pergantian pimpinan itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sebagai sebuah tindakan administratif, mestinya saat memandu sumpah, Wakil Ketua MA mematuhi dengan sungguh-sungguh ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Asas-asas umum pemerintahan yang baik antara lain kepastian hukum, ketidakberpihakan, dan tidak menyalahgunakan kewenangan. Asas-asas itulah yang diterobos suka-suka demi pengambilan sumpah pimpinan yang dihasilkan dari proses yang mengabaikan kepastian hukum.
Jangan biarkan tindakan administrasi yang salah itu menjadi dosa sejarah. Kesalahan itu masih bisa diperbaiki. Caranya, pertama, Wakil Ketua MA yang menuntun sumpah memperbaiki kesalahannya atas kesadaran sendiri. Kedua, atasannya, dalam hal ini Ketua MA, segera mengeluarkan perintah berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan untuk membatalkan pelantikan pimpinan DPD.
Membatalkan pelantikan pimpinan DPD sebagai satu-satunya solusi untuk mengembalikan keberadaan DPD sebagai perjumpaan demokratisasi dan integrasi nasional.
Jangan sampai pada saat daerah tertimpa bencana, wakil mereka di Senayan malah asyik sendiri merebut kekuasaan. Jika itu yang terjadi, DPD berada di persimpangan demokrasi dan integrasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
