Jakarta: Anggota DPD Misharti menyebut hoaks yang tersebar melalui internet mengancam karakter serta persatuan bangsa. Masalah ini dinilai kental dengan propaganda asing, intoleransi, dan radikalisme.
“Ada juga weaponization of social media, tempur politik di media sosial. Hoaks menjadi alat propaganda yang dimanfaatkan banyak pihak, menjadi political game di berbagai negara, termasuk di Indonesia," ujar Misharti dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, 16 Desember 2020.
Misharti memahami perkembangan dunia teknologi informasi (TI) yang sangat pesat memudahkan orang mendapat informasi dan menambah ilmu. Di sisi lain, TI turut disalahgunakan segelintir orang untuk mencapai tujuan.
Kelompok kecil ini memanfaatkan kebiasaan generasi muda Indonesia yang bergantung pada ponsel pintar dan koneksi internet. Sebagai kebutuhan primer, para digital native itu menggunakan internet sebagai medium eksistensi diri seraya menambah pengetahuan soal isu yang sedang berkembang, termasuk isu keadilan dan sosial politik.
Baca: Masyarakat Diminta Berpatokan ke Media Mainstream daripada Medsos
Menurut Misharti, situasi ini membuka peluang untuk menyusupkan nilai-nilai yang dapat memprovokasi dan memecah belah sesama anak bangsa melalui konten-konten hoaks dan ujaran kebencian. Secara tidak sadar, generasi muda Indonesia sebagai kelompok pengguna aktif media sosial terpengaruh.
"Rata-rata anak muda terkoneksi dengan internet minimal empat jam sehari. Selain itu, saat ini orang juga hanya bisa terpisah tujuh menit dari handphone-nya. Seharusnya, kemajuan teknologi serta kemudahan mendapat informasi memberi manfaat bagi masyarakat, untuk saling menguatkan. Inilah pentingnya literasi," papar putri mantan anggota DPD Maimanah Umar itu.
Pengguna media sosial, kata Misharti, harus dapat memilah mana berita yang pantas untuk dikonsumsi dan mana yang tidak. Hal ini penting mengingat hoaks yang muncul berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat dan negara.
"Harus diusut tuntas siapa saja yang menyebarkan berita hoaks tersebut dan diberi hukuman untuk memberi efek jera," jelas dia.
Sepanjang 2019, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menemukan 3.801 hoaks. Mayoritas hoaks itu terkait politik, yaitu mengenai calon presiden dan wakil presiden, partai politik, dan penyelenggara pemilu.
Sementara itu, per Rabu, 16 November 2020, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) berkolaborsi dengan Cekfakta.com menemukan 2.024 hoaks beredar di Indonesia sejak awal 2020. Sepertiga dari jumlah itu hoaks terkait pandemi virus korona covid-19. Tema hoaks lainnya yakni Pilkada 2020 dan omnibus law.
Peredaran hoaks umumnya terjadi di media sosial. Kasus terbanyak ada di Facebook, kemudian Twitter dan WhatsApp. Pengemasannya yang mudah dicerna dan dibumbui kesan bombastis kerap membuat orang mudah memercayai hoaks. Tak jarang, para pembuatnya menggunakan hoaks ini sebagai alat propaganda untuk memecah belah sesama anak bangsa.
Jakarta: Anggota DPD Misharti menyebut
hoaks yang tersebar melalui internet mengancam karakter serta persatuan bangsa. Masalah ini dinilai kental dengan propaganda asing, intoleransi, dan radikalisme.
“Ada juga
weaponization of social media, tempur politik di
media sosial. Hoaks menjadi alat propaganda yang dimanfaatkan banyak pihak, menjadi
political game di berbagai negara, termasuk di Indonesia," ujar Misharti dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, 16 Desember 2020.
Misharti memahami perkembangan dunia teknologi informasi (TI) yang sangat pesat memudahkan orang mendapat informasi dan menambah ilmu. Di sisi lain, TI turut disalahgunakan segelintir orang untuk mencapai tujuan.
Kelompok kecil ini memanfaatkan kebiasaan generasi muda Indonesia yang bergantung pada ponsel pintar dan koneksi internet. Sebagai kebutuhan primer, para
digital native itu menggunakan internet sebagai medium eksistensi diri seraya menambah pengetahuan soal isu yang sedang berkembang, termasuk isu keadilan dan sosial politik.
Baca:
Masyarakat Diminta Berpatokan ke Media Mainstream daripada Medsos
Menurut Misharti, situasi ini membuka peluang untuk menyusupkan nilai-nilai yang dapat memprovokasi dan memecah belah sesama anak bangsa melalui konten-konten hoaks dan ujaran kebencian. Secara tidak sadar, generasi muda Indonesia sebagai kelompok pengguna aktif media sosial terpengaruh.
"Rata-rata anak muda terkoneksi dengan internet minimal empat jam sehari. Selain itu, saat ini orang juga hanya bisa terpisah tujuh menit dari
handphone-nya. Seharusnya, kemajuan teknologi serta kemudahan mendapat informasi memberi manfaat bagi masyarakat, untuk saling menguatkan. Inilah pentingnya literasi," papar putri mantan anggota DPD Maimanah Umar itu.
Pengguna media sosial, kata Misharti, harus dapat memilah mana berita yang pantas untuk dikonsumsi dan mana yang tidak. Hal ini penting mengingat hoaks yang muncul berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat dan negara.
"Harus diusut tuntas siapa saja yang menyebarkan berita hoaks tersebut dan diberi hukuman untuk memberi efek jera," jelas dia.
Sepanjang 2019, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menemukan 3.801 hoaks. Mayoritas hoaks itu terkait politik, yaitu mengenai calon presiden dan wakil presiden, partai politik, dan penyelenggara pemilu.
Sementara itu, per Rabu, 16 November 2020, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) berkolaborsi dengan Cekfakta.com menemukan 2.024 hoaks beredar di Indonesia sejak awal 2020. Sepertiga dari jumlah itu hoaks terkait pandemi virus korona covid-19. Tema hoaks lainnya yakni Pilkada 2020 dan omnibus law.
Peredaran hoaks umumnya terjadi di media sosial. Kasus terbanyak ada di
Facebook, kemudian
Twitter dan
WhatsApp. Pengemasannya yang mudah dicerna dan dibumbui kesan bombastis kerap membuat orang mudah memercayai hoaks. Tak jarang, para pembuatnya menggunakan hoaks ini sebagai alat propaganda untuk memecah belah sesama anak bangsa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)