TEPATLAH jika jaringan teroris digambarkan sebagai kumpulan sel. Kelompok teroris tumbuh layaknya sel yang terus membelah dan sulit dikendalikan.
Oleh karena itu, tewasnya gembong teroris Santoso harus juga dipahami sebagai pemenggalan satu sel. Di luar kelompoknya, sel-sel teroris yang lain masih terus hidup dan mengancam stabilitas negara. Bahkan, bukan tidak mungkin sisa-sisa kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin Santoso dapat tumbuh menjadi sel baru.
Pemahaman itu bukanlah sebuah diskredit atas kerja Satgas Tinombala. Meski membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk memburu Santoso, Polri dan TNI harus diapresiasi dalam kerja sama itu. Keberhasilan mereka ialah bukti bahwa kekuatan-kekuatan negara ini mampu bersinergi untuk menegakkan kedaulatan.
Namun, kerja panjang mereka ialah peringatan bagi seluruh bangsa. Kelompok Santoso menjadi begitu liat, bukan hanya karena medan yang menguntungkan mereka, melainkan juga karena sumber daya dari orang-orang yang terus tersihir oleh ideologi sesat para teroris.
Orang-orang muda yang semestinya menjadi penggerak bangsa ini justru terjungkir balik menjadi perusak bangsa. Perjalanan ini pula yang sebenarnya melahirkan sosok Santoso. Pria yang dahulu dikenal sangat santun itu berubah menjadi pengabai keluarga dan pembenci negara.
Santoso dan orang-orang muda di belakangnya boleh jadi bukan cerita terakhir kesia-siaan kelompok produktif kita. Di berbagai daerah, racun terorisme terus diembuskan kepada generasi muda yang gamang pemahaman agama. Sel-sel rusak itulah yang sulit dihentikan kecuali juga dengan keterlibatan kalangan ulama. Sebabnya telah terbukti bahwa bukanlah ketimpangan ekonomi dan pendidikan yang menjadi penjerumus ke dalam ideologi sesat terorisme.
Seperti terlihat pada sosok gembong teroris dunia, kehidupan serbamewah bahkan rela ditinggalkan Osama bin Laden demi ideologinya. Begitu pula pendidikan tinggi tidak bisa menjadi benteng Dr Azahari untuk menebar teror di negara serumpunnya sendiri. Karena itu, sudah saatnya kelompok ulama dan agamawan menjadi sosok-sosok yang lebih dekat pada masyarakat.
Mereka juga tidak dapat lagi acuh tak acuh ketika pahampaham sesat merajalela di kaum muda. Ulama dan agamawan bahkan semestinya ikut maju menjadi sosok depan pencegahan terorisme.
Pencegahan melalui pendekatan agama secara benar dengan sendirinya merupakan pemberantasan terorisme hingga akarnya karena akar terorisme ialah pemahaman ajaran agama yang dangkal dan salah.
Tidak hanya itu, kerja sama Polri dan TNI dalam pemberantasan terorisme perlu dipertahankan. Meski begitu, pentingnya kerja sama itu bukan berarti dengan langkah gegabah dalam revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Belakangan ini sinergi pemberantasan terorisme mengemuka karena mempertimbangkan adanya UU Nomor 34/2004 tentang TNI yang mengatur pemberantasan terorisme oleh militer, terkhusus pada pasal 6 dan 7 UU tersebut. Terorisme yang terjadi di dalam negeri biarlah menjadi tugas polisi untuk menumpasnya. TNI mendukung dan membantu polisi dalam memberantas terorisme.
Sudah semestinya para pembuat kebijakan mempertimbangkan klasifikasi tindak terorisme agar dapat menciptakan penanggulangan yang menyeluruh. Itu disebabkan penanggulangan tak hanya terkait dengan penindakan, tetapi juga pencegahan dan pemulihan. Bagian-bagian itu tentunya membutuhkan institusi yang tepat agar negara ini bisa bebas dari ancaman terorisme.
Cek Berita dan Artikel yang lain di