Kedaulatan di Harga Pangan
Kedaulatan di Harga Pangan ()

Kedaulatan di Harga Pangan

10 Mei 2016 08:29
SEPERTI penyakit kambuhan yang tidak mempan obat, begitulah permasalahan harga bahan pokok saban menjelang Ramadan. Tahun ini, penyakit itu menyerang lebih hebat karena kenaikan harga sudah terjadi bahkan sebulan sebelum puasa. Kita ingat tahun lalu, tepatnya 15 Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan peraturan yang diyakini bisa menjadi 'obat' bagi problem rutin itu. Lewat Peraturan Presiden RI Nomor 71/2015, dibuat 'pintu-pintu' pengendalian harga yang sebelumnya dianggap menjadi celah permainan para spekulan. Kini menjadi pertanyaan besar, ketika harga masih melambung tidak terkendali, efektifkah peraturan semacam itu? Dengan adanya peraturan, jajaran pemerintah jelas sudah tidak bisa berdalih mengenai ketiadaan instrumen.
 
Yang harus dijawab kini ialah ada tidaknya kesigapan dan kesungguhan pemerintah pusat ataupun daerah menggunakan instrumen tersebut.Jawaban itu pun harus diberikan segera karena di berbagai daerah, masyarakat telah menjadi korban dari para agen yang mematok harga tinggi. Di Padang, harga bawang merah, cabai, dan gula pasir telah naik sekitar Rp2.000 per kg. Di Pangkal Pinang, harga bawang bahkan telah naik hingga Rp5.000 per kg.
 
Kenaikan harga lebih mencekik harus dialami warga Tasikmalaya. Dua bulan terakhir ini harga bawang merah telah naik sebesar Rp20 ribu. Perum Bulog memang telah menggelar pasar murah di berbagai daerah. Namun, jelas upaya itu tidak cukup untuk meredam kenaikan harga. Sebelum harga menjadi kian melambung, pemerintah harus segera menggunakan instrumen yang lebih nyata. Sesuai dengan Perpres No 71/2015 tersebut, pemerintah semestinya juga dapat cepat memantau dan atau mengawasi ketersediaan stok di gudang dan atau di pelabuhan. Pemantauan itu tidak hanya untuk memastikan stok, tetapi juga untuk menertibkan para agen culas penimbun bahan pokok.
 
Langkah awal pengendalian harga juga dapat dilakukan dengan penetapan harga eceran tertinggi. Beberapa ahli memang telah menyatakan kekhawatiran jika pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi secara nasional. Kekhawatiran itu bukan saja karena karakteristik wilayah berbeda-beda, melainkan juga karena koordinasi yang belum jelas antara kementerian terkait dan pelaku usaha. Namun, bukan lantas instrumen tersebut tidak dapat diterapkan. Penetapan harga per daerah dilihat bisa menjadi solusi, terutama jika dilakukan dengan kesiapan operasional yang baik. Jika diperlukan, sesuai dengan pasal 8 perpres itu, menteri bahkan dapat membentuk tim ketersediaan dan stabilisasi harga yang mencakup berbagai elemen, yakni perwakilan kementerian dan lembaga, para ahli, hingga perwakilan para produsen dan konsumen.
Tidak hanya itu, lonjakan harga yang kembali terjadi juga membuktikan manajemen produksi dan distribusi yang belum juga membaik di negeri ini. Contohnya, permasalahan kerusakan irigasi yang belum juga teratasi secara menyeluruh hingga kini. Di satu kecamatan di Bengkulu, kerusakan irigasi bahkan telah satu dekade dibiarkan.
 
Kini, tinggal keseriusan kerja pemerintah memperbaiki manajemen bahan pokok. Tanpa itu, setumpuk peraturan dan instrumen hanya akan jadi isapan jempol belaka. Kita harus sampaikan bahwa kedaulatan pangan bukan cuma sebuah situasi ketika kita menghasilkan sendiri berbagai kebutuhan pokok kita. Kedaulatan pangan juga sebuah situasi ketika pangan tersedia dan rakyat bisa memperolehnya karena harganya terjangkau.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase pangan global

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif