SUMARSONO, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri itu, baru dua bulan lebih menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta. Ia menggantikan sementara Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang diharuskan cuti karena maju dalam Pilkada 2017. Namun, hanya dalam waktu dua bulan itu, Sumarsono sudah menorehkan beberapa ‘gebrakan’ yang mencengangkan sekaligus menggegerkan. Dalam waktu singkat pun ia sudah menjelma seolah gubernur sungguhan, bukan sekadar pengganti sementara.
Dengan kuasa yang ia merasa miliki, sejak menjabat Plt gubernur, Sumarsono tanpa ampun langsung mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan gubernur sebelumnya yang notabene ialah gubernur definitif alias gubernur benaran. Ia tak ragu menghentikan 13 proyek lelang di era Ahok dengan alasan Kebijakan Umum APBD-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2017 belum dibahas dengan DPRD. Padahal, dalam Pasal 73 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, pelelangan dini sebelum pembahasan KUA-PPAS diperbolehkan.
Sumarsono juga ‘berani’ menerima usulan anggaran dari DPRD DKI Jakarta yang membuat APBD naik dari Rp68,76 triliun menjadi Rp70,29 triliun. Termasuk pula ia mengucurkan kembali dana untuk Bamus Betawi dari APBD 2016 sebesar Rp2,5 miliar yang sebelumnya disetop Ahok. Bahkan dalam APBD 2017, dana untuk Bamus Betawi itu dia naikkan menjadi Rp5 miliar. Padahal, dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan, pengelolaan keuangan di tingkat daerah menjadi kewenangan kepala daerah.
Kepala daerah yang dimaksud ialah gubernur, bupati, wali kota, dan bukan Plt yang hanya mendapat kuasa dari mendagri. Langkah kontroversial Sumarsono yang lain ialah ketika ia mengangkat dan melantik pejabat eselon II, III, dan IV. Apakah seorang Plt gubernur bisa mengangkat dan merotasi pegawai saja masih jadi perdebatan. Lebih celaka lagi ternyata beberapa pejabat yang diangkat ialah orang-orang yang sudah diturunkan menjadi staf oleh Ahok.
Keberanian Sumarsono untuk menabrak kepatutan kian menjadi-jadi dengan rencana dia menggelar rapat bersama sekitar 40 kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di kereta wisata dalam perjalanan menuju Yogyakarta. Kereta akan berangkat dari Jakarta pada Jumat (13/1) pukul 22.00 WIB dan tiba di Yogyakarta keesokan harinya, Sabtu (14/1) pukul 07.00. Simpel saja pertanyaannya, apakah efektif waktu yang merupakan jam tidur itu digunakan untuk rapat?
Keputusan macam apa yang akan dihasilkan dari rapat yang terkesan dipaksakan itu? Apa lagi, para pemimpin SKPD peserta rapat harus merogoh kocek Rp7 juta per orang. Padahal, rapat tersebut adalah urusan dinas, mengapa harus mengunakan dana pribadi? Namun, Sumarsono tampaknya cukup nyaman meneruskan segala kontroversi itu dengan berlindung di balik Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74/2016 yang harus diakui amat ambigu. Permendagri itu bahkan bisa dikatakan melampaui undang-undang karena dalam peraturan itu seorang Plt memiliki kewenangan setara dengan pejabat definitif.
Di situ disebutkan, Plt memiliki kewenangan menandatangani perda tentang APBD dan perda tentang organisasi perangkat daerah setelah mendapat persetujuan tertulis menteri. Plt juga dapat melakukan pengisian dan penggantian pejabat berdasarkan perda perangkat daerah setelah mendapat persetujuan tertulis menteri.
Secara substansi peraturan itu sejatinya mengandung ketidakadilan sekaligus mengebiri proses demokrasi. Bagaimana mungkin seorang pejabat pengganti yang ‘hanya’ ditunjuk bisa memiliki kuasa yang sama dengan pemimpin sesungguhnya yang dipilih rakyat melalui proses pilkada yang demokratis. Kasus di Jakarta saat ini mestinya menjadi pengingat kita bahwa kekonyolan itu harus segera diakhiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di