PERUBAHAN memang kerap butuh paksaan. Namun, keterpaksaan semata akan berujung kesemrawutan jika tanpa perencanaan matang dan solusi menyeluruh.
Kacau balau lalu lintas terjadi di ibu kota Jakarta semenjak perluasan penerapan aturan ganjil-genap sekaligus buka-tutup tol. Kedua aturan yang berlaku mulai 1 Agustus hingga 2 September itu merupakan bagian dari persiapan Asian Games 2018.
Kepadatan lalu lintas terjadi di Cawang hingga berbagai jalan alternatif, seperti Tanah Abang menuju Gambir, Jakarta Pusat. Di Jakarta Barat, kepadatan terjadi di Daan Mogot hingga Pesing. Begitu pula di wilayah Saharjo ke Pancoran dan di daerah arteri Pondok Indah.
Betul bahwa kekacauan itu mungkin karena awal adaptasi. Namun, bisa pula berlanjut jika sarana transportasi alternatif tidak segera disiapkan. Yang jauh lebih penting lagi ialah segera mengurai kemacetan jalur-jalur alternatif dan meningkatan layanan trasportasi publik.
Kekhawatiran muncul karena penerapan kebijakan sepertinya tidak tersosialisasikan dengan baik. Padahal, sosialisasi merupakan salah satu faktor dari penerapan tiap kebijakan.
Lemahnya sosialisasi bukan saja terlihat dari 2.000 lebih kendaraan yang terjaring, melainkan juga pengakuan para pengusaha. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta mengaku baru mengetahui mengenai rekayasa lalu lintas itu beberapa hari sebelum pelaksanaan.
Bagi pengusaha, hal itu merupakan petaka karena kesemrawutan lalu lintas menurunkan jumlah pengunjung. Bukan hanya itu, kepadatan di jalan berarti pula biaya operasional yang meningkat.
Pada akhirnya bukan peningkatan perekonomian yang terjadi karena Asian Games, melainkan ancaman kemunduran. Harapan datangnya 200 ribu wisatawan karena ajang olahraga terbesar di Asia ini bisa jadi hambar karena antisipasi yang lamban pada sektor lalu lintas. Mudah dibayangkan, kota yang cantik bisa jadi tidak menarik jika semuanya dikepung kemacetan.
Di sisi lain, sesungguhnya ada momentum perubahan yang bisa dipelihara bahkan ditingkatkan. Itu terlihat dari peningkatan penumpang angkutan umum.
Jumlah penumpang bus PPD naik 40%, penumpang bus Trans-Jakarta meningkat 14%, dan pengguna kereta komuter bertambah hingga 20%.
Jika kita bicara prediksi penghematan energi, hasilnya makin cerah. Penghematan BBM per hari bisa mencapai Rp1,56 miliar, sedangkan dari perjalanan yang lebih cepat, nilai penghematannya bisa Rp2,94 miliar. Jakarta pun punya harapan memiliki udara yang lebih sehat karena penurunan emisi karbon dioksida bisa mencapai 26,63%.
Namun, semua kabar baik itu hanya tercapai jika peralihan penumpang ke angkutan umum dapat dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Caranya tentu saja dengan penambahan sarana transportasi umum yang memadai.
Karena itu, kita mengimbau Pemprov DKI Jakarta agar bertindak cepat dan tepat. Sejauh ini Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Bambang Prihartono mengatakan akan ada 204 armada bus Trans-Jakarta yang disediakan untuk masyarakat terdampak ganjil-genap.
Khusus selama Asian Games berlangsung, 107 bus Trans-Jakarta disiapkan untuk rute-rute ke arena pertandingan dan 40 bus dari hotel ke arena pertandingan. Selain itu, disediakan 10 bus dengan rute Bandara Soekarno-Hatta ke arena pertandingan serta 41 bus untuk wisata para atlet dan ofisial.
Selanjutnya, tentu yang diperlukan ialah penyebaran sarana transportasi itu agar tepat sasaran. Kemudahan akses sarana publik tersebut menjadi hal krusial bagi momentum perubahan tadi.
Menyukseskan Asian Games mestinya tanpa mengorbankan kepentingan rakyat dan pengusaha. Masyarakat tidak akan menjadi korban jika Pemprov DKI Jakarta pandai menata kota, tak sekadar lihai menata kata.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
