KETIKA hukum belum bekerja, etikalah yang semestinya menjadi pedoman. Hukum sebagai pedoman memang bersifat objektif, sedangkan etika bersifat subjektif.
Akan tetapi, pada sifat subjektif itulah kelebihan etika terletak. Etika membutuhkan kesadaran, nurani, serta tanggung jawab kepada diri sendiri dan orang banyak.
Karena didasarkan pada kesadaran, nurani, serta tanggung jawab, etika senantiasa bekerja secara adil, sedangkan hukum tidak selamanya. Orang yang menjunjung etika telah berlaku adil sejak dalam pikiran.
Posisi etika semacam itulah yang semestinya menjadi perhatian para pejabat publik dalam perkara `Panama Papers' atau dokumen Panama. Dokumen Panama ialah dokumen berisi daftar nama mereka, baik pengusaha maupun pejabat, yang melakukan bisnis offshore di negara-negara surga pajak.Tujuan mereka melakukan bisnis atau menempatkan duitnya di sana diduga untuk menghindari pajak di negara mereka.
Mereka yang namanya tercantum dalam dokumen Panama memang belum tentu bersalah. Hukum memang belum bekerja terhadap mereka sehingga kita tidak bisa memvonis mereka bersalah telah mengemplang pajak, misalnya.
Oleh karena itu, mereka, terutama para pejabat publik yang namanya tercantum dalam dokumen Panama, semestinya menggunakan etika sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak.
Di antara begitu banyak pejabat publik yang namanya bertengger dalam dokumen Panama, dua di antaranya masih punya etika. Mereka ialah Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson dan Menteri Industri, Energi, dan Pariwisata Spanyol Jose Manuel Soria.
Keduanya mundur dari jabatan masing-masing. Mereka tetap menyatakan tidak bersalah secara hukum. Akan tetapi, mereka tidak punya tetapi, mereka tidak punya pretensi berlindung di balik hukum demi mempertahankan jabatan mereka.
Perdana Menteri Islandia dan Menteri Spanyol seperti hendak memperlihatkan bahwa pada hakikatnya jabatan itu fungsi, bukan status. Ketika fungsi etis absen dari jabatan mereka, keduanya lebih memilih minggir daripada dipinggirkan kekuatan rakyat. Merekalah negarawan sejati.
Perdana Menteri Islandia dan Menteri Spanyol tentu bukan orang-orang bebal yang mati-matian mempertahankan jabatan mereka. Keduanya justru memiliki kecerdasan etis, juga kepekaan moral sehingga memilih mundur.
Dengan lepasnya jabatan mereka, kelak ketika hukum bekerja, ia bisa berlaku secara lebih objektif dan adil tanpa intervensi. Sebaliknya, banyak pejabat publik lain di banyak negara, yang nama mereka tercantum di dokumen Panama, enggan mundur dari jabatan sembari berkilah bahwa hukum belum membuktikan mereka bersalah.
Tanpa malu mereka menjadikan hukum yang belum bekerja itu sebagai bungker perlindungan untuk mempertahankan jabatan. Para pejabat seperti itu jelas menjadikan jabatan sebagai status yang harus dipertahankan sepanjang hayat, bukan sebagai fungsi. Pejabat publik semacam itu tidak memiliki kecerdasan etis, kecuali cuma kebebalan moral.
Bahkan ada pejabat publik yang posisinya jauh di bawah perdana menteri atau bahkan menteri sekalipun yang bebal mempertahankan jabatan dengan berbagai dalih meski rakyat di negaranya menuntutnya mundur. Dia malah menghimpun kekuatan demi menegaskan bahwa dia bersih dari tuduhan mengemplang pajak. Dia juga berkukuh steril dari tudingan bersalah lantaran tak memasukkan perusahaan offshore-nya dalam laporan tentang harta dan kekayaan pejabat publik sebagaimana diatur di negaranya.
Mundurnya Perdana Menteri Islandia dan Menteri Spanyol, siapa tahu, bisa menginspirasi pejabat publik lain, di negara mana pun, juga Indonesia, untuk mengambil langkah serupa bila nama mereka masuk ke dokumen Panama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di