KEBERADAAN Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sepanjang tahun ini antara ada dan tiada. Hampir tidak ada sumbangan signifikan DPD untuk menggairahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. DPD lebih banyak berjuang untuk kepentingan sendiri. Saking semangatnya untuk berjuang sampai lupa menjaga kehormatan diri.
Pada awal tahun ini terjadi pergolakan di kalangan internal DPD. Pergolakan tersebut sama sekali tidak ada kaitan dengan visi membangun daerah. Pergolakan internal DPD itu menyangkut perebutan kekuasaan terkait dengan usul pengurangan masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5 tahun.
Ketika konflik perebutan kekuasaan belum sepenuhnya reda, muncul kasus yang lebih memalukan lagi. Memalukan karena terkait dengan kasus korupsi; Ketua DPD Irman Gusman diringkus dalam operasi tangkap tangan KPK. Di penghujung tahun ini, DPD lagi-lagi membikin heboh.
Anggota DPD dari Kalimantan Barat, Oesman Sapta Odang, dikukuhkan menjadi Ketua Umum Partai Hanura. Oesman yang kini menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari DPD malah mengajak 16 anggota DPD lainnya untuk bergabung ke Hanura.
Benarkah masuknya puluhan anggota DPD ke partai politik bakal mengacaukan sistem bikameral? Jika DPD dihuni orang-orang politik, apa bedanya dengan DPR? Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945 menyatakan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR ialah partai politik. Ayat (4) menyatakan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD ialah perseorangan.
Ketentuan Pasal 22 E itu semula dimaknai bahwa DPD steril dari partai politik. Karena itu, Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu menyertakan syarat calon DPD ialah perseorangan yang mengundurkan diri dari parpol empat tahun sebelumnya.
DPD steril dari parpol hanya bertahan sebentar sebab dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dihilangkan syarat calon DPD ialah perseorangan yang meng-undurkan diri dari parpol empat tahun sebelumnya. Keberadaan UU 10/2008 disebut pula sebagai tonggak intervensi parpol atas DPD.
Sejak saat itulah DPD menerima pensiunan DPR. Apalagi, ketentuan dalam UU 10/2008 itu diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi pada 2008. Dengan demikian, secara hukum, tidak ada yang salah bila anggota DPD bergabung dengan partai politik. Namun, dampaknya ialah bikameral yang kini berlaku dalam sistem perwakilan politik Indonesia sesungguhnya kental beraroma unikameral. Dua kamar di parlemen, DPR dan DPD, sama-sama diisi orang-orang partai politik.
DPR dan DPD pada akhirnya hanya berbeda setipis kulit ari karena sama-sama menampung orang partai politik. Kepentingan partai yang tidak bisa diperjuangkan lewat DPD akan dengan mudah diperjuangkan melalui DPR, begitu pula sebaliknya.
Jika perbedaan kedua lembaga itu kian menipis, masih perlukah keberadaan DPD dipertahankan? Keberadaan dua lembaga dengan perbedaan yang kian menipis hanya membebani keuangan negara.
Jujur dikatakan bahwa sejauh ini sudah banyak orang yang mempertanyakan kinerja dan prestasi DPD, yang memang belum terlalu terasa oleh masyarakat. Bahkan, yang mula-mula berbisik, kini kian lantang menyuarakan agar DPD dibubarkan. DPD ada tidak menggenapkan, tiada pun tak mengganjilkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
