SIKAP main hakim sendiri jelas merupakan perilaku yang jauh dari keadaban hukum. Hukum yang dipakai pastilah hukum rimba, yang lebih kuat niscaya yang akan mengintimidasi. Dalam perilaku semacam itu hak-hak asasi disingkirkan, prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan dilempar ke keranjang sampah. Perilaku intimidatif terhadap sesama warga negara inilah yang kini marak digerakkan Front Pembela Islam.
Mereka melakukan perburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian diancam, diintimidasi, bahkan disakiti. Aksi itu bukan hanya ancaman terhadap penegakan hukum, melainkan juga bagi kebebasan berpendapat dan demokrasi di Indonesia. Hanya istilah barbar yang pantas disematkan kepada sekelompok orang yang mengintimidasi, memukul, dan menampar bocah berusia 15 tahun.
Demi membela pemimpin mereka yang menjadi tersangka kasus pornografi, para pelaku mengangkangi hukum negara ini. Tindakan persekusi yang mereka lakukan dengan cara tidak manusiawi jelas dapat menimbulkan penderitaan fisik dan psikis pada korban. Selain menebar teror, aksi persekusi itu bertujuan menimbulkan kesan ada pertikaian di masyarakat dan kebanyakan korban yang disasar ialah mereka yang minoritas dengan kedudukan sosial lemah.
Tujuannya antara lain mengkriminalisasikan dan mengintimidasi korban. Intimidasi yang menimpa bocah asal Cipinang, Jakarta Timur, tersebut merupakan kasus yang ke-60 kali karena sebelumnya Koalisi Antipersekusi sudah mencatat 59 kasus yang terjadi selama 2017 ini. Kita mengapresiasi pihak kepolisian yang segera mengambil langkah hukum terhadap pelaku persekusi bocah asal Cipinang tersebut.
Kasus persekusi yang juga menghentak publik menimpa seorang dokter asal Solok, Sumatra Barat, bernama Fiera Lovita. Dia mendapat teror dan intimidasi karena statusnya di laman Facebook mengenai kasus dugaan percakapan mesum antara Rizieq dan Firza. Ketegasan negara dalam penegakan hukum menjadi jalan terbaik. Selain itu, pemerintah seharusnya berperan untuk melindungi rakyat dari tindakan-tindakan yang dilakukan kelompok sipil yang gemar main hakim sendiri.
Tidak ada langkah lain kecuali penegak hukum menindak tegas para pelaku persekusi, juga turun jauh ke masyarakat untuk melakukan pencegahan. Bila tidak, posisi negara dalam hal penegakan hukum di masyarakat akan lemah. Polisi, sebagai aparat penegak hukum negara, mesti mengusut tuntas perilaku persekusi itu, bukan hanya penindakan yang bersifat personal, bahkan bila perlu menindak organisasinya.
Pasalnya upaya persekusi diduga berlangsung sistematis dan bukan sekadar spontanitas individu. Negara mesti bertindak dan menunjukkan adanya hukum positif yang berlaku di Indonesia. Masyarakat harus ditunjukkan bahwa mereka tidak berhak melakukan penindakan atas persepsi mereka sendiri. Jika dirasa ada pihak yang melakukan pelanggaran hukum, baik itu penghinaan terhadap seseorang maupun kelompok tertentu, laporkan kepada penegak hukum.
Hanya dengan hukum, keadilan bisa ditegakkan. Negara juga punya tanggung jawab untuk meningkatkan literasi digital bagi masyarakat. Berpikir sebelum berbagi sebuah konten di dunia maya ialah prinsip yang tak bisa diingkari. Masyarakat pun mesti diimbau untuk tidak dengan sengaja mengunggah tulisan yang menyudutkan dan menghilangkan asas praduga tak bersalah.
- See more at: https://mediaindonesia.com/editorial/read/1075/pantang-lunglai-melawan-persekusi/2017-06-03#sthash.DonFIr0l.dpuf
