KECELAKAAN pesawat di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta dan di Bandara El Tari Kupang dalam waktu hampir bersamaan menunjukkan masih peliknya masalah dalam infrastruktur bandara di Indonesia. Pertumbuhan industri penerbangan sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi belum diikuti percepatan perbaikan, pengembangan, dan pembangunan infrastruktur bandara.
Tidak mengherankan bila masalah klasik di sektor penerbangan terus muncul. Persoalan lama terkait dengan kapasitas yang berlebihan hingga standar keselamatan bandara sepertinya masih enggan hilang dari ‘kamus’ masalah industri penerbangan di Indonesia.
Fakta bahwa pertumbuhan penumpang pesawat udara di Indonesia selalu mengikuti deret ukur, sedangkan pengembangan bandara mengikuti deret hitung, memang tidak terbantahkan hingga kini. International Air Transport Association bahkan mencatat Indonesia merupakan salah satu dari lima pasar penerbangan yang memiliki pertumbuhan penumpang tercepat di dunia.
Menurut Indonesia National Air Carrier Association, pertumbuhan jumlah penumpang domestik dan internasional di Indonesia dalam dua tahun terakhir berkisar 8%-9%. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah penumpang angkutan udara pada 2015 sudah lebih dari 70 juta orang.
Wajar belaka bila beberapa bandara di Tanah Air menanggung derita kelebihan kapasitas, termasuk Bandara Soekarno-Hatta. Tahun lalu, Bandara Soekarno-Hatta mengalami ‘kelebihan beban’ hingga 260%, dari kapasitas yang hanya 22 juta penumpang dalam satu tahun, tetapi harus dijejali 57,8 juta penumpang.
Cepatnya pertumbuhan penumpang dalam kurun satu dekade terakhir, yang tidak diimbangi dengan percepatan infrastruktur bandara, menyebabkan ada bandara yang tingkat kelaikannya masih diperdebatkan terpaksa digunakan untuk melayani penerbangan.
Bandara Halim Perdanakusuma, misalnya, yang merupakan pangkalan udara milik TNI-AU, oleh sejumlah ahli dianggap tidak memenuhi standar melayani penerbangan sipil. Bandara Halim hanya memiliki satu landasan dan daya tampung parkir yang terbatas. Tabrakan antara Batik Air dan Trans Nusa membuktikan peringatan para ahli itu.
Tidak mudah, memang, menggenjot infrastruktur bandara dalam waktu singkat. Lebih-lebih lagi, dalam rentang lebih dari 10 tahun terakhir, nyaris tidak terdengar pembangunan infrastruktur bandara secara signifikan.
Namun, apa pun kondisinya, pemerintah tidak boleh menyerah. Justru sejumlah rencana pembangunan infrastruktur bandara yang sudah dicanangkan mesti dipacu lagi agar bisa selesai dalam waktu yang lebih cepat.
Kita sangat mengapresiasi langkah pemerintahan Jokowi-JK yang bertekad membangun 15 bandara baru di Tanah Air tahun ini. Kita juga menyambut dengan amat gembira rencana pengoperasian Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, mulai Mei 2016 nanti, yang bakal menjadi ikon baru bandara internasional di Indonesia.
Namun, publik akan lebih bersyukur lagi jika realisasi pengembangan, perbaikan, dan pembangunan infrastruktur bandara itu bisa lebih cepat daripada yang ditargetkan. Itu semua bisa diwujudkan bila seluruh pemangku kebijakan di negeri ini, baik di ranah eksekutif maupun legislatif, segendang sepenarian bahwa kemudahan jalan untuk memperoleh pendanaan infrastruktur harus dibuka lebar.
Jangan ada lagi upaya ‘menyandera’ anggaran dengan dalih yang dicari-cari, apalagi membarternya dengan kepentingan politik yang amat sempit. Negeri ini terus berpacu dengan waktu dalam membangun infrastruktur, termasuk infrastruktur bandara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
