medcom.id, Jakarta: Pemerintah berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan konflik sosial horizontal yang terjadi di masyarakat. Pembentukan ini mendapatkan penolakan dari berbagai pihak karena dinilai belum jelas.
Wiranto mengakui adanya berbagai penolakan itu. Kata dia, banyak pihak yang mengira DKN jadi jawaban untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu secara nonyudisial.
"Padahal, tidak seperti itu. Ini dibentuk berdasarkan kondisi aktual sekarang. Berdasarkan kebutuhan obyektif saat ini, bukan subyektif," kata Wiranto di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis 9 Maret 2017.
Wiranto menjelaskan, setiap konflik horizontal yang terjadi di masyarakat kerap dibawa ke pengadilan. Sistem hukum seperti ini, kata dia, bukan milik masyarakat Indonesia yang mengenal proses musyawarah dan mufakat.
"Itu sistem Eropa dulu. Di sana tidak terlalu mengenal proses pemaafan," kata dia.
Padahal, lanjut mantan Panglima ABRI ini, jika menilik sejarah Indonesia, masih banyak daerah yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam penyelesaian konflik sosial.
Wiranto mencontohkan penyelesaian masalah di Papua yang dilakukan secara adat. Mereka yang terlibat perkelahian antarsuku dianjurkan membuat pesta sebagai tanda perdamaian.
"Di Aceh ada, Padang ada, kenapa di sistem hukum jadi hilang?" tanya Wiranto.
Baca: Presiden Setuju Dibentuk Dewan Kerukunan Nasional
Indonesia, kata dia, telah mengadopsi sistem hukum dari barat. Pembentukan DKN dinilai menyeimbangkan penyelesaian konflik secara musyawarah dan mufakat. Sehingga, masyarakat tak langsung menyelesaikan sebuah konflik horizontal lewat pengadilan.
"Supaya tidak kewalahan, nanti sedikit-sedikit Komnas HAM, sedikit-sediki pengadilan," kata dia.
Berbenturan dengan UU Penyelesaian Konflik Sosial
Tapi, Wiranto tak menutup kemungkinan DKN bisa menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, syarat utama adalah kasus hukum itu tak bisa ditangani secara yudisial.
"Ternyata tidak bisa diselesaikan dengan cara yudisial, otomatis kan nonyudisial, tidak masalah kalau DKN dilibatkan," kata Wiranto.
Peraturan Presiden yang mengatur lembaga ini pun telah dipersiapkan. Sejumlah tokoh yang akan mengisi posisi di lembaga telah diundang. Wiranto mengatakan ada 11 tokoh yang akan menduduki posisi di DKN.
Sebanyak 11 tokoh itu akan mewakili representasi masyarakat adat di Indonesia. Ia berharap konflik sosial setingkat nasional, baik horizontal atau vertikal, akan diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat lewat DKN.
"Jika tidak selesai, silakan Komnas HAM maju," kata dia.
Baca: Komnas Ham Belum Paham Tujuan Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichatul Aswidah belum memahami niat pemerintah membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Padahal, penyelesaian konflik sosial sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012.
"Saya kira ini tertangkap dengan baik di UU tentang Penyelesaian Konflik Sosial," kata Roi usai diskusi di Jalan Cikini Raya, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 1 Maret 2017.
Roi menjelaskan, dalam UU itu diatur otoritas setempat harus mendeklarasikan kondisi konflik sosial. Jika konflik sosial terjadi di daerah, otoritas setempat harus membentuk satuan tugas.
Satuan tugas ini bersifat ad hoc, bukan permanen. Karena, penetapan status darurat terhadap konflik sosial harus memiliki batasan waktu yang jelas.
"Itu harus dideklarasi secara resmi sampai kapan. Lalu pembatasan hak mana yang dibatasi? dari kapan sampai kapan? Lalu otoritas pindah atau tidak?" jelas Roi.
Aturan itu, ujarnya, menentukan pembuatan satuan tugas nasional untuk menangani masalah ini. Roi tak bisa menjawab dengan pasti apakah DKN cocok untuk menyelesaikan konflik sosial yang terjadi saat ini.
"Kalau DKN itu dipersepsikan permanen, dia menjawab konflik yang mana? Karena kalau di UU tentang PKS (Penyelesaian Konflik Sosial) itu jelas, nasional ya nasional, kalau daerah ya daerah," kata Roi.
medcom.id, Jakarta: Pemerintah berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan konflik sosial horizontal yang terjadi di masyarakat. Pembentukan ini mendapatkan penolakan dari berbagai pihak karena dinilai belum jelas.
Wiranto mengakui adanya berbagai penolakan itu. Kata dia, banyak pihak yang mengira DKN jadi jawaban untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu secara nonyudisial.
"Padahal, tidak seperti itu. Ini dibentuk berdasarkan kondisi aktual sekarang. Berdasarkan kebutuhan obyektif saat ini, bukan subyektif," kata Wiranto di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis 9 Maret 2017.
Wiranto menjelaskan, setiap konflik horizontal yang terjadi di masyarakat kerap dibawa ke pengadilan. Sistem hukum seperti ini, kata dia, bukan milik masyarakat Indonesia yang mengenal proses musyawarah dan mufakat.
"Itu sistem Eropa dulu. Di sana tidak terlalu mengenal proses pemaafan," kata dia.
Padahal, lanjut mantan Panglima ABRI ini, jika menilik sejarah Indonesia, masih banyak daerah yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam penyelesaian konflik sosial.
Wiranto mencontohkan penyelesaian masalah di Papua yang dilakukan secara adat. Mereka yang terlibat perkelahian antarsuku dianjurkan membuat pesta sebagai tanda perdamaian.
"Di Aceh ada, Padang ada, kenapa di sistem hukum jadi hilang?" tanya Wiranto.
Baca:
Presiden Setuju Dibentuk Dewan Kerukunan Nasional
Indonesia, kata dia, telah mengadopsi sistem hukum dari barat. Pembentukan DKN dinilai menyeimbangkan penyelesaian konflik secara musyawarah dan mufakat. Sehingga, masyarakat tak langsung menyelesaikan sebuah konflik horizontal lewat pengadilan.
"Supaya tidak kewalahan, nanti sedikit-sedikit Komnas HAM, sedikit-sediki pengadilan," kata dia.
Berbenturan dengan UU Penyelesaian Konflik Sosial
Tapi, Wiranto tak menutup kemungkinan DKN bisa menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, syarat utama adalah kasus hukum itu tak bisa ditangani secara yudisial.
"Ternyata tidak bisa diselesaikan dengan cara yudisial, otomatis kan nonyudisial, tidak masalah kalau DKN dilibatkan," kata Wiranto.
Peraturan Presiden yang mengatur lembaga ini pun telah dipersiapkan. Sejumlah tokoh yang akan mengisi posisi di lembaga telah diundang. Wiranto mengatakan ada 11 tokoh yang akan menduduki posisi di DKN.
Sebanyak 11 tokoh itu akan mewakili representasi masyarakat adat di Indonesia. Ia berharap konflik sosial setingkat nasional, baik horizontal atau vertikal, akan diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat lewat DKN.
"Jika tidak selesai, silakan Komnas HAM maju," kata dia.
Baca:
Komnas Ham Belum Paham Tujuan Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichatul Aswidah belum memahami niat pemerintah membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Padahal, penyelesaian konflik sosial sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012.
"Saya kira ini tertangkap dengan baik di UU tentang Penyelesaian Konflik Sosial," kata Roi usai diskusi di Jalan Cikini Raya, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 1 Maret 2017.
Roi menjelaskan, dalam UU itu diatur otoritas setempat harus mendeklarasikan kondisi konflik sosial. Jika konflik sosial terjadi di daerah, otoritas setempat harus membentuk satuan tugas.
Satuan tugas ini bersifat ad hoc, bukan permanen. Karena, penetapan status darurat terhadap konflik sosial harus memiliki batasan waktu yang jelas.
"Itu harus dideklarasi secara resmi sampai kapan. Lalu pembatasan hak mana yang dibatasi? dari kapan sampai kapan? Lalu otoritas pindah atau tidak?" jelas Roi.
Aturan itu, ujarnya, menentukan pembuatan satuan tugas nasional untuk menangani masalah ini. Roi tak bisa menjawab dengan pasti apakah DKN cocok untuk menyelesaikan konflik sosial yang terjadi saat ini.
"Kalau DKN itu dipersepsikan permanen, dia menjawab konflik yang mana? Karena kalau di UU tentang PKS (Penyelesaian Konflik Sosial) itu jelas, nasional ya nasional, kalau daerah ya daerah," kata Roi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)