Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Miskonsepsi Terkait Consent di RUU TPKS

Antara • 26 Maret 2022 13:22
Jakarta: Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi inisiatif DPR sejak Rapat Paripurna Ke-13 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022. DPR menyetujui usulan RUU tersebut pada 18 Januari 2022 dan saat ini menuju ke tahap rapat panitia kerja (panja).
 
Meski demikian, perjalanan RUU ini terbilang alot. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya, mengatakan setiap fraksi partai politik memiliki perjuangan politik masing-masing dalam pembahasan RUU TPKS.
 
Sebelumnya penolakan datang dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS, dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), mempertanyakan konsep consent atau persetujuan korban kekerasan seksual.

"PKS khawatir dengan keberadaan frasa tanpa persetujuan korban," ujar Willy dilansir Antara, Sabtu, 26 Maret 2022.
 
RUU PKS merupakan rancangan undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual sebelum RUU TPKS. RUU ini gagal disetujui untuk disahkan oleh DPR.
 
Baca: Pemerintah Siap Lembur Bahas RUU TPKS
 
Miskonsepsi consent datang dari kesalahpahaman frasa "tanpa persetujuan korban" yang dianggap membingungkan. Seolah "persetujuan korban" memperbolehkan hubungan seksual terjadi di antara pasangan yang belum terikat perkawinan. Pihak yang menolak, mengkhawatirkan keberadaan frasa "tanpa persetujuan korban" dalam RUU PKS dapat membuka pintu untuk mengizinkan adanya seks bebas di Indonesia.
 
Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani, menyayangkan pandangan tersebut. Menurut Andy, justru konsep consent merupakan bagian penting dalam menentukan apakah suatu perbuatan tergolong ke dalam kekerasan seksual atau tidak.
 
"Indonesia darurat kekerasan seksual. Kasus yang marak diberitakan di berbagai media online seolah menjadi peringatan bahwa tidak ada lagi tempat yang aman bagi siapa pun dari intaian pelecehan," ujar dia.
 
Kekerasan seksual, kata Andy, terjadi di rumah tangga, perguruan tinggi, sekolah, hingga tempat ibadah. Yang paling buruk, pelaku kekerasan seksual seringkali merupakan sosok terdekat dari korban.
 
"Kebutuhan masyarakat Indonesia akan kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sangat mendesak," ungkap Andy.

Konsep Consent


Menurut Andy, terdapat ruang yang harus dapat dibedakan secara tajam oleh para pembuat undang-undang. Perbedaan tersebut penting untuk menentukan apakah seseorang merupakan korban dari kekerasan seksual atau bukan.
 
Adapun yang dapat diatur oleh para pembuat undang-undang adalah mengenai keberadaan persetujuan seseorang untuk berhubungan seksual. Meskipun demikian, Andy menegaskan bukan berarti hubungan di luar perkawinan tidak menjadi keresahan sosial.
 
Perihal hubungan yang terjadi di luar perkawinan dapat diatur di ruang yang berbeda karena RUU TPKS fokus pada tindak pidana kekerasan seksual, bukan mengenai perilaku seksual secara keseluruhan.
 
Selaras dengan Andy, Guru Besar Antropologi Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, menyayangkan adanya miskonsepsi mengenai kata consent atau frasa "persetujuan korban" dalam RUU TPKS.
 
Suli menegaskan kata consent merupakan unsur yang penting dalam pengertian kekerasan seksual. Ketiadaan persetujuan atau consent dalam berhubungan seksual menandakan adanya unsur pemaksaan dalam melakukan hubungan.
 
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan