Jakarta: Jumlah calon tunggal diprediksi akan meningkat pada pilkada serentak tahun ini. Hal itu melanjutkan tren calon tunggal mulai dari Pilkada 2015 dan Pilkada 2017.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menuturkan potensi kemunculan calon tunggal terlihat dari belum terbentuknya konsolidasi peta dukungan terhadap calon kepala daerah. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di tingkat provinsi, melainkan juga terjadi di tingkat kabupaten/kota.
"Di beberapa daerah konstelasi dukungan tampaknya sangat sulit sekali terbentuk. Kemungkinan calon tunggal yang meningkat sangat besar kemungkinan terjadi," ujar Titi di Jakarta, Selasa, 2 Januari 2018.
Berdasarkan pantauan Perludem, sejumlah daerah yang kemungkinan berpotensi calon tunggal pada pilkada 2018 antara lain Provinsi Papua, Kabupaten Purwakarta (Jawa Barat), Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Lebak (Banten), Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Probolinggo (Jawa Timur), dan Padang Lawas Utara (Sumatera Utara).
Titi mengatakan bahwa fenomena calon tunggal yang terjadi saat ini bersifat anomali, bukan alamiah. Pasalnya, daerah-daerah yang terdapat calon tunggalnya bukan daerah pemilihan yang pemilihnya kecil.
"Di kita calon tunggal terjadi di dapil yang pemilihnya banyak, yang jumlah partainya juga banyak, tapi calon tunggal. Itu anomali," terangnya.
Diakuinya, calon tunggal muncul karena parpol secara borongan hanya mengusung satu calon, yaitu petahana. Hal itu karena partai hanya mempertimbangkan dari sisi elektabilitas kandidat.
"Memang elektabilitas penting, tapi itu tidak boleh jadi satu-satunya dasar untuk pengusungan di Pilkada. Partai adalah instrumen untuk rekrutmen dan mesin kaderisasi partai. Kalau fenomena calon tunggal dilatarbelakangi pragmatisme politik, itu sangat mencederai mekanisme pilkada yang kita miliki," tutur Titi.
(Baca juga: Pilkada Serentak Berdampak pada Calon Tunggal)
Untuk itu, ia berharap parpol bisa membangun kesepahaman dengan partai lain dalam mengusung calon kepala daerah. Namun, sambungnya, kesepahaman tersebut bukan dilatarbelakangi oleh faktor transaksional semata, melainkan atas dasar penguatan demokrasi lokal.
"Kita tidak berharap (ada calon tunggal). Harapan kita parpol betul-betul bersungguh-sungguh menyajikan kader terbaiknya untuk maju di pilkada," ucap dia.
Konsentrasi ke petahana
Anggota Bawaslu RI M Afifuddin mengatakan pihaknya akan sama-sama mengawasi bakal calon kepala daerah baik itu petahana atau bukan. Kendati demikian, diakuinya, konsentrasi pengawasan terhadap petahana menjadi perhatian khusus.
"Petahana ini punya jejaring yang mapan di daerah. Bukan kita memberi perhatian yang berbeda terhadap pasangan calon. Tapi ini potensi orang yang sudah punya kekuasaan kemudian memobilisasi kekuatannya menyuruh orang untuk mendukung dia," tandasnya.
Pada 2015, tercatat terdapat tiga daerah yang memiliki calon tunggal, dari 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Kemudian, pada pilkada 2017, jumlahnya naik tiga kali lipat menjadi sembilan daerah.
Keberadaan calon tunggal diakomodasi dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Calon tunggal harus mendapatkan lebih dari 50% suara untuk bisa terpilih.
Pemegang hak suara boleh mencoblos kolom atau kotak kosong jika tidak ingin calon tunggal meraih kemenangan. Bila suara kotak kosong yang menang, pilkada digelar kembali hingga terpilih kepala daerah definitif. Sementara itu, daerah dipimpin pejabat kepala daerah berkewenangan terbatas.
(Baca juga: Ganjar: Paslon Banyak, Pilgub Jateng Makin Menarik)
Jakarta: Jumlah calon tunggal diprediksi akan meningkat pada pilkada serentak tahun ini. Hal itu melanjutkan tren calon tunggal mulai dari Pilkada 2015 dan Pilkada 2017.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menuturkan potensi kemunculan calon tunggal terlihat dari belum terbentuknya konsolidasi peta dukungan terhadap calon kepala daerah. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di tingkat provinsi, melainkan juga terjadi di tingkat kabupaten/kota.
"Di beberapa daerah konstelasi dukungan tampaknya sangat sulit sekali terbentuk. Kemungkinan calon tunggal yang meningkat sangat besar kemungkinan terjadi," ujar Titi di Jakarta, Selasa, 2 Januari 2018.
Berdasarkan pantauan Perludem, sejumlah daerah yang kemungkinan berpotensi calon tunggal pada pilkada 2018 antara lain Provinsi Papua, Kabupaten Purwakarta (Jawa Barat), Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Lebak (Banten), Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Probolinggo (Jawa Timur), dan Padang Lawas Utara (Sumatera Utara).
Titi mengatakan bahwa fenomena calon tunggal yang terjadi saat ini bersifat anomali, bukan alamiah. Pasalnya, daerah-daerah yang terdapat calon tunggalnya bukan daerah pemilihan yang pemilihnya kecil.
"Di kita calon tunggal terjadi di dapil yang pemilihnya banyak, yang jumlah partainya juga banyak, tapi calon tunggal. Itu anomali," terangnya.
Diakuinya, calon tunggal muncul karena parpol secara borongan hanya mengusung satu calon, yaitu petahana. Hal itu karena partai hanya mempertimbangkan dari sisi elektabilitas kandidat.
"Memang elektabilitas penting, tapi itu tidak boleh jadi satu-satunya dasar untuk pengusungan di Pilkada. Partai adalah instrumen untuk rekrutmen dan mesin kaderisasi partai. Kalau fenomena calon tunggal dilatarbelakangi pragmatisme politik, itu sangat mencederai mekanisme pilkada yang kita miliki," tutur Titi.
(Baca juga:
Pilkada Serentak Berdampak pada Calon Tunggal)
Untuk itu, ia berharap parpol bisa membangun kesepahaman dengan partai lain dalam mengusung calon kepala daerah. Namun, sambungnya, kesepahaman tersebut bukan dilatarbelakangi oleh faktor transaksional semata, melainkan atas dasar penguatan demokrasi lokal.
"Kita tidak berharap (ada calon tunggal). Harapan kita parpol betul-betul bersungguh-sungguh menyajikan kader terbaiknya untuk maju di pilkada," ucap dia.
Konsentrasi ke petahana
Anggota Bawaslu RI M Afifuddin mengatakan pihaknya akan sama-sama mengawasi bakal calon kepala daerah baik itu petahana atau bukan. Kendati demikian, diakuinya, konsentrasi pengawasan terhadap petahana menjadi perhatian khusus.
"Petahana ini punya jejaring yang mapan di daerah. Bukan kita memberi perhatian yang berbeda terhadap pasangan calon. Tapi ini potensi orang yang sudah punya kekuasaan kemudian memobilisasi kekuatannya menyuruh orang untuk mendukung dia," tandasnya.
Pada 2015, tercatat terdapat tiga daerah yang memiliki calon tunggal, dari 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Kemudian, pada pilkada 2017, jumlahnya naik tiga kali lipat menjadi sembilan daerah.
Keberadaan calon tunggal diakomodasi dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Calon tunggal harus mendapatkan lebih dari 50% suara untuk bisa terpilih.
Pemegang hak suara boleh mencoblos kolom atau kotak kosong jika tidak ingin calon tunggal meraih kemenangan. Bila suara kotak kosong yang menang, pilkada digelar kembali hingga terpilih kepala daerah definitif. Sementara itu, daerah dipimpin pejabat kepala daerah berkewenangan terbatas.
(Baca juga:
Ganjar: Paslon Banyak, Pilgub Jateng Makin Menarik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)