Jakarta: Komisioner Bawaslu M Afifuddin menuturkan Pilkada Serentak memberikan dampak munculnya calon tunggal. Pilkada yang dilaksanakan berbarengan membuat partai politik tak memiliki waktu banyak untuk menentukan calonnya.
“Di tahun 2015 di tiga daerah dari 259 kalau dilihat presentasenya memang 1,1% dari seluruh Pilkada Serentak di tahun 2015,” beber Afifuddin dalam diskusi politik awal tahun di kawasan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Januari 2018.
Sejatinya, kata Afifuddin, pilkada membuka pintu bagi semua calon untuk maju melalui partai politik. Namun, pada saat itu tak mengatur potensi adanya calon tunggal. Sehingga, muncul di beberapa daerah adanya calon tunggal.
“Karena sebelumnya kita tidak pernah membayangkan proses pemilihan kepala daerah (kurang calon) tidak pernah sebelumya seingat saya. Jadi ini sesuatu yang belum diantisipasi oleh peraturan waktu itu. Sehingga di tahun 2015 kita dikagetkan oleh daerah-daerah yang ada potensi atau kejadian di ketiga daerah calon perseorangan,” kata dia.
Pada proses calon tunggal muncul kemudian ada beberapa pilihan yang menyatakan tidak setuju dan setuju. Tapi pada akhirnya muncul calon perseorangan pada 2015.
“Pemilih disuruh memilih dan tidak punya pilihan lain. Semacam apa ya? waktu Timor Leste berpisah dengan Indonesia,” imbuh dia.
Meski, kata dia, tak ada dampak negatif partisipasi pemilih dengan calon tunggal, namun hal itu tidak sehat dalam iklim demokrasi. Sebab partai politik terkonsentrasi pada satu pilihan.
"Ini tidak boleh, iklim demokrasi atas pilihan pemimpin di daerah tersebut," pungkas dia.
Jakarta: Komisioner Bawaslu M Afifuddin menuturkan Pilkada Serentak memberikan dampak munculnya calon tunggal. Pilkada yang dilaksanakan berbarengan membuat partai politik tak memiliki waktu banyak untuk menentukan calonnya.
“Di tahun 2015 di tiga daerah dari 259 kalau dilihat presentasenya memang 1,1% dari seluruh Pilkada Serentak di tahun 2015,” beber Afifuddin dalam diskusi politik awal tahun di kawasan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Januari 2018.
Sejatinya, kata Afifuddin, pilkada membuka pintu bagi semua calon untuk maju melalui partai politik. Namun, pada saat itu tak mengatur potensi adanya calon tunggal. Sehingga, muncul di beberapa daerah adanya calon tunggal.
“Karena sebelumnya kita tidak pernah membayangkan proses pemilihan kepala daerah (kurang calon) tidak pernah sebelumya seingat saya. Jadi ini sesuatu yang belum diantisipasi oleh peraturan waktu itu. Sehingga di tahun 2015 kita dikagetkan oleh daerah-daerah yang ada potensi atau kejadian di ketiga daerah calon perseorangan,” kata dia.
Pada proses calon tunggal muncul kemudian ada beberapa pilihan yang menyatakan tidak setuju dan setuju. Tapi pada akhirnya muncul calon perseorangan pada 2015.
“Pemilih disuruh memilih dan tidak punya pilihan lain. Semacam apa ya? waktu Timor Leste berpisah dengan Indonesia,” imbuh dia.
Meski, kata dia, tak ada dampak negatif partisipasi pemilih dengan calon tunggal, namun hal itu tidak sehat dalam iklim demokrasi. Sebab partai politik terkonsentrasi pada satu pilihan.
"Ini tidak boleh, iklim demokrasi atas pilihan pemimpin di daerah tersebut," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)