Jakarta: Presiden Joko Widodo, bukan orator ulung. Pidatonya, malah melulu terdengar bernada rendah. Kalimat yang digunakan pun cenderung pendek, dengan durasi yang terkesan lambat.
Jika Indonesia punya sejarah kecanggihan agitasi Soekarno dari atas mimbar, dalam diri Jokowi, seakan tak ada lagi. Sebab itulah banyak yang bilang, demi menutup kekurangan yang dimilikinya itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini kerap menahbiskan dirinya sebagai pekerja, bukan pemimpin yang pandai bicara.
Meski, yang terucap oleh Jokowi bukan berarti sepi dari reaksi. Sepatah-dua kata yang terucap, tak sesekali mampu meredam aksi. Atau sebaliknya, justru memancing lawan politiknya untuk turut tidak bergeming.
Sepanjang 2017, Presiden Jokowi tak alpa melontarkan frasa yang ikut mewarnai dinamika sosial-politik di Indonesia. Ia pernah memakai kata "gebuk" untuk mengganjar apa yang dianggapnya salah, juga memunculkan kalimat-kalimat penegasan demi menjelaskan di mana posisi dan siapa saja yang layak dibela.
Gebuk
Sudah tiga tahun Jokowi menjabat Presiden, namun riak dari sisa-sisa pertarungan Pemilu 2014 tak sepenuhnya usai. Termasuk, masih beredarnya isu tak jelas yang pernah diberdayakan sebagai bahan kampanye hitam.
Jokowi, bagian dari agenda kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), misalnya.
Memasuki Mei 2017, seiring Pemerintah RI kian tegas memberikan perhatiannya kepada penertiban organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang diindikasi bertolakbelakang dengan Pancasila, serangan tentang Jokowi sebagai antek PKI pun makin menjadi.
Jokowi dianggap pilih kasih. Pancasila, ditafsirkan sesukanya. Pelarangan dan pembubaran ormas cuma ditujukan kepada kelompok-kelompok yang dinilai bertentangan secara politik.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), diberi peringatan. Sementara PKI, dibiarkan.
Jokowi tak tinggal diam. Presiden langsung menanggapi ihwal PKI sedikitnya dua kali dalam waktu yang begitu berdekatan. Pertama, saat bertemu pemimpin redaksi media nasional di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada Rabu 17 Mei 2017. Dan kedua, ketika berkunjung ke Tanjung Datuk, Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, dua hari setelahnya, Jumat 19 Mei 2017.
"Kalau PKI muncul, gebuk saja," ujarnya.
Kata gebuk, relatif terdengar baru. Namun setelahnya, frasa ini digunakan Jokowi untuk melawan ancaman-ancaman yang dirasanya menyasar pada hal-hal yang bersifat fundamental.
Jokowi, kerap bilang, "Jika melanggar hukum, anti-Pancasila, merusak tatanan, ya pasti kita gebuk."
Baca: [Wawancara Khusus] Klarifikasi Presiden Soal Kata Gebuk
Jiwa Kosong
Pemerintah pusat, bukan satu-satunya perangkat yang memiliki tanggung jawab dalam mendorong kemajuan dan pembangunan negara. Ada banyak elemen yang tak kalah perlu menambatkan keserasian visi-misi, juga niat yang tulus. Termasuk di antaranya, para kepala daerah.
Jokowi melihat, kepala daerah yang jalur tempuhnya berasal dari proses politik, malah seringkali terkesan abai atas tujuan luhur tersebut. Jatuhnya, nyaris tak ada terobosan yang tampak dalam pembangunan daerah.
"Selama ini panggung kita terutama panggung politik terlalu banyak didominasi oleh jiwa-jiwa yang kosong, jiwa-jiwa yang kering,"
Begitu, kata Jokowi dalam sambutan di acara Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat, Rabu 19 Juli 2017.
Presiden beranggapan, roda perpolitikan di Indonesia perlu kembali dipahami sebagai jalan mengambil peran dalam pembangunan. Bukan melulu bicara kekalahan dan kemenangan.
Semestinya, politik mampu melahirkan figur-figur kepemimpinan yang berintegritas, jujur, memiliki etos kerja yang baik, bermoral dan disiplin.
Dalam Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning, Ideologi Politik dan Era Demokrasi (2008), pakar politik Firmanzah menyebut, peran penting dalam membangun kualitas sumberdaya manusia itu ada pada partai politik. Sayangnya, keadaan seakan berbalik, partai-partai politik justru saling berebut orang-orang yang dianggap terbaik, tujuannya, demi memuluskan kemenangan sesaat.
"Saking menggebu-gebunya, hal tersebut seringkali menjebak pelbagai pihak dalam pragmatisme-semu," tulis Firmanzah.
Rontoknya visi-misi politik ini, dengan tak cuma sekali, Jokowi menyebutnya; jiwa yang kosong dan kering.
Baca: [Fokus] Kritik 'Jiwa Kosong' ala Jokowi
Saya Pancasila
Separuh akhir 2017, Indonesia masih diwarnai problem yang bersinggungan dengan semangat kebinekaan. Tak sedikit yang menganggap, keberagaman Indonesia di tahun ini benar-benar tengah diuji. Mengkampanyekan Pancasila sebagai jalan pemersatu, dianggap perlu.
Mendekati Juni, Jokowi berkali-kali mengidentifikasi dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari Pancasila. Presiden juga mengajak masyarakat prinsip toleransi terhadap keberagaman yang terkandung di dalamnya kembali dikuatkan.
"Pancasila itu jiwa dan raga kita. Ada di aliran darah dan detak jantung kita, perekat keutuhan bangsa dan negara." ucap Jokowi, Selasa, 30 Mei 2017.
"Saya Jokowi, Saya Indonesia, Saya Pancasila," kata Jokowi, lagi.
Frasa yang digaungkan Jokowi kali ini, lantas diadopsi jargon pekan Pancasila. Pada 1 Juni 2017, tanda pagar #SayaPancasila menempati puncak trending topic media sosial. Di Twitter, bahkan dicuit lebih dari 2.000 kali.
<blockquote class="instagram-media" data-instgrm-captioned data-instgrm-permalink="https://www.instagram.com/p/BUq4Yp1AHsw/" data-instgrm-version="8" style=" background:#FFF; border:0; border-radius:3px; box-shadow:0 0 1px 0 rgba(0,0,0,0.5),0 1px 10px 0 rgba(0,0,0,0.15); margin: 1px; max-width:658px; padding:0; width:99.375%; width:-webkit-calc(100% - 2px); width:calc(100% - 2px);"><div style="padding:8px;"> <div style=" background:#F8F8F8; line-height:0; margin-top:40px; padding:28.10185185185185% 0; text-align:center; width:100%;"> <div style=" background:url(data:image/png;base64,iVBORw0KGgoAAAANSUhEUgAAACwAAAAsCAMAAAApWqozAAAABGdBTUEAALGPC/xhBQAAAAFzUkdCAK7OHOkAAAAMUExURczMzPf399fX1+bm5mzY9AMAAADiSURBVDjLvZXbEsMgCES5/P8/t9FuRVCRmU73JWlzosgSIIZURCjo/ad+EQJJB4Hv8BFt+IDpQoCx1wjOSBFhh2XssxEIYn3ulI/6MNReE07UIWJEv8UEOWDS88LY97kqyTliJKKtuYBbruAyVh5wOHiXmpi5we58Ek028czwyuQdLKPG1Bkb4NnM+VeAnfHqn1k4+GPT6uGQcvu2h2OVuIf/gWUFyy8OWEpdyZSa3aVCqpVoVvzZZ2VTnn2wU8qzVjDDetO90GSy9mVLqtgYSy231MxrY6I2gGqjrTY0L8fxCxfCBbhWrsYYAAAAAElFTkSuQmCC); display:block; height:44px; margin:0 auto -44px; position:relative; top:-22px; width:44px;"></div></div> <p style=" margin:8px 0 0 0; padding:0 4px;"> <a href="https://www.instagram.com/p/BUq4Yp1AHsw/" style=" color:#000; font-family:Arial,sans-serif; font-size:14px; font-style:normal; font-weight:normal; line-height:17px; text-decoration:none; word-wrap:break-word;" target="_blank">Pancasila itu jiwa dan raga kita. Ada di aliran darah dan detak jantung kita, perekat keutuhan bangsa dan negara. Saya Jokowi, Saya Indonesia, Saya Pancasila. Kalau kamu?</a></p> <p style=" color:#c9c8cd; font-family:Arial,sans-serif; font-size:14px; line-height:17px; margin-bottom:0; margin-top:8px; overflow:hidden; padding:8px 0 7px; text-align:center; text-overflow:ellipsis; white-space:nowrap;">A post shared by <a href="https://www.instagram.com/jokowi/" style=" color:#c9c8cd; font-family:Arial,sans-serif; font-size:14px; font-style:normal; font-weight:normal; line-height:17px;" target="_blank"> Joko Widodo</a> (@jokowi) on <time style=" font-family:Arial,sans-serif; font-size:14px; line-height:17px;" datetime="2017-05-29T08:44:56+00:00">May 29, 2017 at 1:44am PDT</time></p></div></blockquote> <script async defer src="//platform.instagram.com/en_US/embeds.js"></script>
Jangan lemahkan KPK
Pada September 2017, arus pemberitaan diriuhkan dengan cerita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kembali bergesekan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Pasalnya, di tengah lembaga rasuah itu getol memerangi praktik banyaknya anggaran yang diduga dimanipulasi, DPR RI malah merasa khawatir, jangan-jangan KPK-lah yang justru menyalahgunakan wewenang dengan dalih pemberantasan korupsi.
DPR RI pun, membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi mengungkap kebenaran yang diakuinya bersumber dari laporan banyak pihak.
Sebaliknya, tak sedikit yang menilai gerakan DPR RI itu cuma akal-akalan dalam rangka melemahkan KPK. Apalagi, inisiatif itu muncul seiring mencuatnya dugaan korupsi dalam megaproyek KTP elektronik yang menyeret beberapa nama dari lembaga legislatif.
Jokowi, terkena getahnya. Seiring perseteruan terjadi, orang nomor satu di Indonesia ini dibilang abai, alias sengaja melakukan pembiaran.
Masyarakat meminta Jokowi turun tangan. Apalagi, di saat salah satu anggota pansus melempar usulan agar KPK lekas dibekukan. Di babak ini, barulah Jokowi tak cukup diam. Ia menyatakan diri dengan terang 'berdiri bersama sekaligus siap membela KPK'.
"Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak akan membiarkan KPK diperlemah," kata Presiden usai peresmian Tol Jombang-Mojokerto di Surabaya, Jawa Timur, Minggu 10 September 2017.
Pakar hukum tata negara Romli Atmasasmita menilai, sikap Jokowi cukup baik karena berada dalam batas-batas tugas sebagai kepala negara. Ia, tak mudah dikompori untuk mencampuri urusan legislatif, KPK, dan lembaga-lembaga yang memegang kewenangan tersendiri lainnya.
Seorang kepala negara, kata dia, terkesan tidak mendidik jika gampang melibatkan diri, terlebih untuk sekadar melerai perseteruan dua lembaga yang pembentukannya sudah didasari dengan prosedural yang matang dan profesional.
Panglima tertinggi
Mendekati tutup tahun 2017, isu bergeser pada adanya anggapan bahwa pandangan politik pemerintah dan militer, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI), berseberangan.
Pangkal perkaranya, beragam. Dimulai dari merebaknya desas-desus kebangkitan paham komunisme, hingga pembelian senjata dengan kepemilikan yang tak begitu terang.
Menanggapi hal itu, Jokowi mengatakan bahwa persoalan yang hadir tak lebih dari sekadar belum tuntasnya komunikasi antarinstansi. Terlebih soal senjata, semestinya cukup menjadi rahasia internal; bukan malah diumbar sebagai konsumsi publik.
Baca: [Fokus] TNI, Polri, dan Kendali Jokowi
Presiden juga menyinggung pentingnya bagi TNI, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan lembaga lainnya agar kembali bersinergi. Bukannya memunculkan kesan berhadap-hadapan, yang ujung-ujungnya membuat rakyat kebingungan.
"Sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, sebagai panglima tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara, saya ingin perintahkan kepada Bapak, Ibu, Saudara sekalian, fokus pada tugas masing-masing," kata Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin, 2 Oktober 2017.
Jokowi, mematahkan isu liar yang mencoba mengadu-domba militer dan pemerintah. Dengan adanya ketegasan itu, sudah barang tentu tak ada yang kurang dari legitimasi dan tanggung-jawabnya sebagai pemimpin negara.
Perhatian Presiden Jokowi ini, bisa diakurkan dengan banyak teori hubungan sipil-militer yang berlaku. Khusus di Asia Tenggara dan Indonesia, tak sedikit peneliti asing yang layak dijadikan rujukan.
Salah satunya, pendapat ilmuwan politik Australia Harold Crouch dalam Military-Civilian Relations in Southeast Asia (1985). Menurutnya, adanya intervensi militer dalam kekuasaan politik sipil terjadi ketika pihak ekskutif dinilai sebagai tanda gagalnya negara dalam menjaga stabilitas.
Kegagalan itu, bisa menjadi isyarat sekaligus penyebab. Di beberapa wilayah Asia Tenggara, kegagalan menjaga stabilitas secara otomatis akan mengurangi legitimasi kepemimpinan sipil dan membuka peluang campur tangan kelompok militer.
Dalam hal ini, Jokowi memang bukan ahli beretorika. Tapi di sepanjang 2017, bolehlah ia dinilai sudah cukup mampu menelurkan frasa-frasa ampuh yang sedikit banyak membuat gamblang suasana.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/zNA7d1nk" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Presiden Joko Widodo, bukan orator ulung. Pidatonya, malah melulu terdengar bernada rendah. Kalimat yang digunakan pun cenderung pendek, dengan durasi yang terkesan lambat.
Jika Indonesia punya sejarah kecanggihan agitasi Soekarno dari atas mimbar, dalam diri Jokowi, seakan tak ada lagi. Sebab itulah banyak yang bilang, demi menutup kekurangan yang dimilikinya itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini kerap menahbiskan dirinya sebagai pekerja, bukan pemimpin yang pandai bicara.
Meski, yang terucap oleh Jokowi bukan berarti sepi dari reaksi. Sepatah-dua kata yang terucap, tak sesekali mampu meredam aksi. Atau sebaliknya, justru memancing lawan politiknya untuk turut tidak bergeming.
Sepanjang 2017, Presiden Jokowi tak alpa melontarkan frasa yang ikut mewarnai dinamika sosial-politik di Indonesia. Ia pernah memakai kata "gebuk" untuk mengganjar apa yang dianggapnya salah, juga memunculkan kalimat-kalimat penegasan demi menjelaskan di mana posisi dan siapa saja yang layak dibela.
Gebuk
Sudah tiga tahun Jokowi menjabat Presiden, namun riak dari sisa-sisa pertarungan Pemilu 2014 tak sepenuhnya usai. Termasuk, masih beredarnya isu tak jelas yang pernah diberdayakan sebagai bahan kampanye hitam.
Jokowi, bagian dari agenda kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), misalnya.
Memasuki Mei 2017, seiring Pemerintah RI kian tegas memberikan perhatiannya kepada penertiban organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang diindikasi bertolakbelakang dengan Pancasila, serangan tentang Jokowi sebagai antek PKI pun makin menjadi.
Jokowi dianggap pilih kasih. Pancasila, ditafsirkan sesukanya. Pelarangan dan pembubaran ormas cuma ditujukan kepada kelompok-kelompok yang dinilai bertentangan secara politik.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), diberi peringatan. Sementara PKI, dibiarkan.
Jokowi tak tinggal diam. Presiden langsung menanggapi ihwal PKI sedikitnya dua kali dalam waktu yang begitu berdekatan.
Pertama, saat bertemu pemimpin redaksi media nasional di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada Rabu 17 Mei 2017. Dan
kedua, ketika berkunjung ke Tanjung Datuk, Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, dua hari setelahnya, Jumat 19 Mei 2017.
"Kalau PKI muncul, gebuk saja," ujarnya.
Kata gebuk, relatif terdengar baru. Namun setelahnya, frasa ini digunakan Jokowi untuk melawan ancaman-ancaman yang dirasanya menyasar pada hal-hal yang bersifat fundamental.
Jokowi, kerap bilang, "Jika melanggar hukum, anti-Pancasila, merusak tatanan,
ya pasti kita gebuk."
Baca: [Wawancara Khusus] Klarifikasi Presiden Soal Kata Gebuk
Jiwa Kosong
Pemerintah pusat, bukan satu-satunya perangkat yang memiliki tanggung jawab dalam mendorong kemajuan dan pembangunan negara. Ada banyak elemen yang tak kalah perlu menambatkan keserasian visi-misi, juga niat yang tulus. Termasuk di antaranya, para kepala daerah.
Jokowi melihat, kepala daerah yang jalur tempuhnya berasal dari proses politik, malah seringkali terkesan abai atas tujuan luhur tersebut. Jatuhnya, nyaris tak ada terobosan yang tampak dalam pembangunan daerah.
"Selama ini panggung kita terutama panggung politik terlalu banyak didominasi oleh jiwa-jiwa yang kosong, jiwa-jiwa yang kering,"
Begitu, kata Jokowi dalam sambutan di acara Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat, Rabu 19 Juli 2017.
Presiden beranggapan, roda perpolitikan di Indonesia perlu kembali dipahami sebagai jalan mengambil peran dalam pembangunan. Bukan melulu bicara kekalahan dan kemenangan.
Semestinya, politik mampu melahirkan figur-figur kepemimpinan yang berintegritas, jujur, memiliki etos kerja yang baik, bermoral dan disiplin.
Dalam
Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning, Ideologi Politik dan Era Demokrasi (2008), pakar politik Firmanzah menyebut, peran penting dalam membangun kualitas sumberdaya manusia itu ada pada partai politik. Sayangnya, keadaan seakan berbalik, partai-partai politik justru saling berebut orang-orang yang dianggap terbaik, tujuannya, demi memuluskan kemenangan sesaat.
"Saking menggebu-gebunya, hal tersebut seringkali menjebak pelbagai pihak dalam pragmatisme-semu," tulis Firmanzah.
Rontoknya visi-misi politik ini, dengan tak cuma sekali, Jokowi menyebutnya; jiwa yang kosong dan kering.
Baca: [Fokus] Kritik 'Jiwa Kosong' ala Jokowi
Saya Pancasila
Separuh akhir 2017, Indonesia masih diwarnai problem yang bersinggungan dengan semangat kebinekaan. Tak sedikit yang menganggap, keberagaman Indonesia di tahun ini benar-benar tengah diuji. Mengkampanyekan Pancasila sebagai jalan pemersatu, dianggap perlu.
Mendekati Juni, Jokowi berkali-kali mengidentifikasi dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari Pancasila. Presiden juga mengajak masyarakat prinsip toleransi terhadap keberagaman yang terkandung di dalamnya kembali dikuatkan.
"Pancasila itu jiwa dan raga kita. Ada di aliran darah dan detak jantung kita, perekat keutuhan bangsa dan negara." ucap Jokowi, Selasa, 30 Mei 2017.
"Saya Jokowi, Saya Indonesia, Saya Pancasila," kata Jokowi, lagi.
Frasa yang digaungkan Jokowi kali ini, lantas diadopsi jargon pekan Pancasila. Pada 1 Juni 2017, tanda pagar
#SayaPancasila menempati puncak
trending topic media sosial. Di
Twitter, bahkan dicuit lebih dari 2.000 kali.
Jangan lemahkan KPK
Pada September 2017, arus pemberitaan diriuhkan dengan cerita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kembali bergesekan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Pasalnya, di tengah lembaga rasuah itu getol memerangi praktik banyaknya anggaran yang diduga dimanipulasi, DPR RI malah merasa khawatir, jangan-jangan KPK-lah yang justru menyalahgunakan wewenang dengan dalih pemberantasan korupsi.
DPR RI pun, membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi mengungkap kebenaran yang diakuinya bersumber dari laporan banyak pihak.
Sebaliknya, tak sedikit yang menilai gerakan DPR RI itu cuma akal-akalan dalam rangka melemahkan KPK. Apalagi, inisiatif itu muncul seiring mencuatnya dugaan korupsi dalam megaproyek KTP elektronik yang menyeret beberapa nama dari lembaga legislatif.
Jokowi, terkena getahnya. Seiring perseteruan terjadi, orang nomor satu di Indonesia ini dibilang abai, alias sengaja melakukan pembiaran.
Masyarakat meminta Jokowi turun tangan. Apalagi, di saat salah satu anggota pansus melempar usulan agar KPK lekas dibekukan. Di babak ini, barulah Jokowi tak cukup diam. Ia menyatakan diri dengan terang 'berdiri bersama sekaligus siap membela KPK'.
"Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak akan membiarkan KPK diperlemah," kata Presiden usai peresmian Tol Jombang-Mojokerto di Surabaya, Jawa Timur, Minggu 10 September 2017.
Pakar hukum tata negara Romli Atmasasmita menilai, sikap Jokowi cukup baik karena berada dalam batas-batas tugas sebagai kepala negara. Ia, tak mudah dikompori untuk mencampuri urusan legislatif, KPK, dan lembaga-lembaga yang memegang kewenangan tersendiri lainnya.
Seorang kepala negara, kata dia, terkesan tidak mendidik jika gampang melibatkan diri, terlebih untuk sekadar melerai perseteruan dua lembaga yang pembentukannya sudah didasari dengan prosedural yang matang dan profesional.
Panglima tertinggi
Mendekati tutup tahun 2017, isu bergeser pada adanya anggapan bahwa pandangan politik pemerintah dan militer, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI), berseberangan.
Pangkal perkaranya, beragam. Dimulai dari merebaknya desas-desus kebangkitan paham komunisme, hingga pembelian senjata dengan kepemilikan yang tak begitu terang.
Menanggapi hal itu, Jokowi mengatakan bahwa persoalan yang hadir tak lebih dari sekadar belum tuntasnya komunikasi antarinstansi. Terlebih soal senjata, semestinya cukup menjadi rahasia internal; bukan malah diumbar sebagai konsumsi publik.
Baca: [Fokus] TNI, Polri, dan Kendali Jokowi
Presiden juga menyinggung pentingnya bagi TNI, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan lembaga lainnya agar kembali bersinergi. Bukannya memunculkan kesan berhadap-hadapan, yang ujung-ujungnya membuat rakyat kebingungan.
"Sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, sebagai panglima tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara, saya ingin perintahkan kepada Bapak, Ibu, Saudara sekalian, fokus pada tugas masing-masing," kata Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin, 2 Oktober 2017.
Jokowi, mematahkan isu liar yang mencoba mengadu-domba militer dan pemerintah. Dengan adanya ketegasan itu, sudah barang tentu tak ada yang kurang dari legitimasi dan tanggung-jawabnya sebagai pemimpin negara.
Perhatian Presiden Jokowi ini, bisa diakurkan dengan banyak teori hubungan sipil-militer yang berlaku. Khusus di Asia Tenggara dan Indonesia, tak sedikit peneliti asing yang layak dijadikan rujukan.
Salah satunya, pendapat ilmuwan politik Australia Harold Crouch dalam
Military-Civilian Relations in Southeast Asia (1985). Menurutnya, adanya intervensi militer dalam kekuasaan politik sipil terjadi ketika pihak ekskutif dinilai sebagai tanda gagalnya negara dalam menjaga stabilitas.
Kegagalan itu, bisa menjadi isyarat sekaligus penyebab. Di beberapa wilayah Asia Tenggara, kegagalan menjaga stabilitas secara otomatis akan mengurangi legitimasi kepemimpinan sipil dan membuka peluang campur tangan kelompok militer.
Dalam hal ini, Jokowi memang bukan ahli beretorika. Tapi di sepanjang 2017, bolehlah ia dinilai sudah cukup mampu menelurkan frasa-frasa ampuh yang sedikit banyak membuat gamblang suasana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)