Presiden Joko Widodo/MI/Panca Syurkani
Presiden Joko Widodo/MI/Panca Syurkani

FOKUS

Kritik 'Jiwa Kosong' ala Jokowi

Sobih AW Adnan • 19 Juli 2017 21:24
medcom.id, Jakarta: Ada yang menarik dari ucapan Presiden Joko Widodo hari ini. Di hadapan para kepala daerah, ia mengenalkan istilah 'jiwa kosong dan kering' dalam panggung perpolitikan di Indonesia. 
 
"Saya titip, selama ini panggung kita terutama panggung politik terlalu banyak didominasi jiwa-jiwa yang kosong, jiwa-jiwa yang kering," kata Jokowi dalam Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat, Rabu 19 Juli 2017.
 
Jika benar ada, maka selaras tong kosong memang berbunyi nyaring, pantas saja kegaduhan demi kegaduhan terus bergulir.

Komitmen politik
 
Bila dianggap asap, tentu kritik Jokowi kali ini bukan tanpa api. Presiden beranggapan, roda perpolitikan di Indonesia amat penting untuk kembali mengambil peran dalam melahirkan figur-figur kepemimpinan yang berintegritas, jujur, memiliki etos kerja yang baik, bermoral dan disiplin.
 
Baca: Presiden Minta Bupati Serius Bekerja
 
Kepala daerah menjadi ujung tombak pembangunan nasional. Sejurus dengan itu, maka tujuan kekuasaan tiada lain mesti diluruskan untuk kemaslahatan bangsa. Bukan yang lain-lain.
 
Kepemimpinan daerah, sejatinya mengusung sebagian besar agenda dan cita-cita bangsa. Sekali saja keliru komitmen, tak ayal, kepentingan yang diperjuangkan malah terkesan jangka pendek, juga hanya mempertimbangkan keuntungan kelompok. Terutama, kehendak partai politik pengusung.
 
Komitmen politik kepala daerah, serta partai politik yang mengantarkannya saling terkait dalam menentukan kemajuan dan masa depan bangsa.
 
Dalam Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning, Ideologi Politik dan Era Demokrasi (2008), pakar politik Firmanzah menjelaskan, partai politik memainkan peran sentral dalam menjaga pluralisme ekspresi, menjamin adanya partisipasi, sekaligus persaingan dalam sistem politik.
 
Secara organisasi, kualitas sumber daya manusia dalam partai politik menjadi sangat penting. Kepiawaian dan keahlian berpolitik akan sangat menentukan pemenang dalam persaingan tersebut. 
 
"Jadi, sumber daya manusia yang memiliki kredibilitas, integritas, kemampuan dan keahlian berpolitik yang tinggi amat diperlukan," tulis Firmanzah.
 
Sayangnya, kondisi ini tidak lantas membangun semangat seluruh partai politik untuk menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki daya tawar baik di tengah masyarakat. Sebaliknya, partai-partai politik malah saling berebut untuk mendapatkan orang-orang yang mereka anggap sebagai yang terbaik demi memuluskan keinginan partai. 
 
"Saking menggebu-gebunya, hal tersebut seringkali menjebak pelbagai pihak dalam pragmatisme-semu," tulis dia.
 
Termasuk dalam percaturan kepemimpinan daerah. Nuansa pragmatisme itu bahkan muncul melalui politik transaksional. Partai politik, tak pelak melupakan misi untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.
 
"Untuk menjadi gubernur, katakanlah, seorang calon berani mengeluarkan biaya yang besar sekali," tulis pakar yang karib disapa Fiz, masih dalam buku yang sama.
 
Pertimbangannya, sangat sederhana. Setelah menjadi gubernur, semua uang yang dikeluarkan akan dengan mudah didapat kembali. Sementara tujuan kemaslahatan bangsa dalam percaturan politik, kian suram.
 
Merosot
 
Politik transaksional, memukul mundur tujuan politik mensejahterakan rakyat. Masuknya nilai-nilai kapitalis dalam dunia politik pada akhirnya mereduksi makna berpolitik itu sendiri. 
 
Berpolitik, yang tadinya dilakukan guna menyelesaikan pertikaian kepentingan, akan lebih dilihat sebagai ajang mencari keuntungan material. Fiz menyebut, "Para aktor politik menjadikan kalkulasi untung-rugi di atas segala-galanya."
 
Jika kecenderungan ini tak lekas ditangani, maka bisa dipastikan, kemerosotan pamor dan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik terus melorot.
 
Pada 2012, Jaringan Survei Indonesia (JSI) menyebut tingkat kepuasan publik terhadap kinerja partai politik tergolong rendah. Beruntung, masyarakat masih menyisakan kepercayaan terhadap satu-dua tokoh di dalamnya, meski secara personal.
 
Sebanyak 47,2% menyatakan kurang puas atau tidak puas sama sekali dengan kinerja partai politik yang ada. Sementara yang menjawab sangat puas atau cukup puas cuma 41,2% saja.
 
Bahkan pada 2016, tingkat kepuasan itu cuma 39,2%. Survei yang dirilis Indikator Politik Indonesia itu juga merekam turunnya tingkat kepercayaan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari 59,2% menjadi 48,5%.
 
Peneliti senior bidang politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, perkaranya, partai politik sudah lama dianggap kurang mampu membangun nuansa kebangsaan. 
 
"Kalaupun isu-isu terkait kebangsaan digunakan, lebih condong untuk kepentingan politik saja," kata Zuhro kepada Metrotvnews.com, Rabu, 19 Juli 2017.
 
Proses kaderisasi, yang menjadi tugas utama partai politik itu juga kerap kali dianggap kurang memenuhi harapan publik. Partai politik mesti kembali memperkuat pembekalan demi meningkatkan semangat nasionalisme dan kebangsaan, terutama kepada figur-figur yang akan disertakan dalam persaingan demokrasi.
 
"Sindiran 'jiwa-jiwa kosong dan kering' bisa jadi mengacu pada minimnya nilai-nilai budaya. Sebagai pemimpin, diisyaratkan memahami secara saksama baik filosofi, teks, maupun konteks dalam memilih pemimpin daerah," kata Zuhro.
 
Menjadi pemimpin, bukan sekadar penguasa. Begitu Zuhro mengistilahkan.
 
"Pemimpin, ikhlas mendedikasikan dirinya untuk kemajuan daerah dan masyarakat lokal. Membangun Indonesia berarti membangun daerah. Kemajuan daerah adalah kemajuan Indonesia," kata dia.
 
Sementara hari ini, tak sedikit kepala daerah yang justru berkelindan dengan tindakan koruptif. Tak tanggung-tanggung, ada 376 pemimpin daerah yang tengah berurusan dengan hukum. Zuhro menilai, penyebabnya adalah niat sudah rusak sejak diawal.
 
"Itu menunjukkan bahwa nawaitu (niat) menjadi kepala atau wakil kepala daerah tidak jelas," ucap dia.
 
Jiwa kosong, memang tak boleh dibiarkan lebih lama bergentayangan. Penguatan komitmen para kepala daerah, ditambah kontrol masyarakat lebih kuat menjadi jalan keluar yang sangat masuk akal.
 
Jiwa kosong, hanya akan menyeret demokrasi pada praktik low politics atau politik rendahan semata. Hal itu biasanya ditandai dengan praktik berebut kue kekuasaan menggunakan segala cara. Akibatnya, dimensi high politics atau politik kelas tinggi menguap. Sedangkan, hal ini amat penting karena menjamin adanya kompas moral dalam politik.
 
Kompas moral akan mampu memandu, bahwa setelah kekuasaan politik didapat, maka harus digunakan untuk sebanyak mungkin kebaikan bagi rakyat banyak.
 
Bukankah sejarah telah membuktikan, kekuasaan tanpa amanah, tanpa diimbangi praktik pengawasan dan keseimbangan (check and balances), hanya akan jadi bencana. 
 
Pernyataan Presiden Jokowi tentang jiwa-jiwa kosong memang simbolis. Tapi makna yang dihadirkan sebenarnya terang. Jiwa-jiwa kosong hanya mendekatkan politik kita menjadi bencana.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan