Jakarta: Pengamat pertahanan dan militer Susaningtyas Kertopati mengapresiasi rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi juru damai perang antara Rusia dan Ukraina. Meski begitu, ada beberapa hal yang harus dicermati dan dipelajari.
Pertama adalah mencermati bahwa perang Rusia dan Ukraina ini bersifat perang asimetris. Indonesia, melalui Presiden Jokowi, harus merumuskan konsep perdamaian seperti apa yang ingin diwujudkan.
"Kita jangan sampai meleset dalam memprediksi siapa yang memenangi perang tersebut. Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan superior seperti Rusia ternyata bisa kalah di Afghanistan. Amerika Serikat juga kalah di Vietnam dan Afghanistan," kata Susaningtyas melalui keterangan tertulis, Kamis, 23 Juni 2022.
Dia menambahkan Jokowi harus mencermati bahwa Rusia adalah kekuatan yang superior dan Ukraina adalah kekuatan yang inferior. NATO pun berusaha menancapkan kekuasaannya di Ukraina yang secara geografis berbatasan langsung dengan Rusia.
Selanjutnya, Jokowi juga harus memahami fakta bahwa perbandingan kekuatan militer dan anggaran perang jelas dimiliki Rusia. Di atas kertas, kata dia, Rusia pasti ingin melaksanakan perang dalam waktu secepat-cepatnya sementara Ukraina pasti melancarkan perang berlarut.
Jokowi pun harus mencermati fakta bahwa 40 persen gas Eropa berasal Rusia. Sebanyak 35 persen paladium dan 67 persen neon Amerika Serikat juga berasal dari Rusia.
"Patut diwaspadai oleh Pemerintah Indonesia adalah dampak perang bagi perekonomian Indonesia," kata dia.
Menurutnya, sejumlah langkah strategis juga harus disiapkan secara matang mengantisipasi jika kemungkinan terburuk terjadi. "Terutama untuk kondisi sosial politik di Indonesia," kata Susaningtyas.
Harus dicermati pula keselamatan Jokowi secara pribadi. "Karena bisa saja ada pihak yang tak suka dengan upaya perdamaian ini," ujarnya.
Langkah Jokowi menjadi juru damai perang Rusia dan Ukraina disebut sudah sesuai dengan aturan. Susaningtyas juga melihat langkah Jokowi ini sudah relevan dengan konsep politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif.
"Keputusan untuk mendamaikan kedua negara itu sangat baik. Apalagi, dampak perang berlarut ini mulai terimbas untuk Indonesia," kata dia.
Sebagai contoh, krisis pangan yang sudah ada di depan mata, semakin membebani APBN. Padahal, lanjut Susaningtyas, selama dua tahun ini saja APBN sudah babak belur dihajar pandemi covid-19.
"Jika perang Ukraina dan Rusia ini berlarut, krisis pangan dan energi dikhawatirkan bisa terjadi. Hal ini akan membuat angka kemiskinan semakin bertambah," kata dia.
Presiden Joko Widodo direncanakan untuk mengunjungi Kiev, Ukraina, dan Moskow, Rusia. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengumumkannya dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Rabu, 22 Juni 2022.
"Kunjungan ke kedua negara ini merupakan kunjungan yang dilakukan dalam situasi yang masih tidak normal. Situasi saat ini masih sangat kompleks," kata Retno.
Meski demikian, sambung dia, Jokowi memilih untuk mencoba berkontribusi dalam meredakan krisis ini. Presiden Jokowi akan menjadi pemimpin Asia pertama yang melakukan kunjungan ke kedua negara tersebut di tengah invasi Rusia ke Ukraina.
"Kunjungan presiden ini menunjukkan kepedulian terhadap isu kemanusiaan dengan mencoba memberikan kontribusi untuk menangani krisis pangan yang diakibatkan karena perang," ucap Retno.
Jakarta: Pengamat pertahanan dan militer Susaningtyas Kertopati mengapresiasi rencana Presiden
Joko Widodo (Jokowi) menjadi juru damai perang antara
Rusia dan
Ukraina. Meski begitu, ada beberapa hal yang harus dicermati dan dipelajari.
Pertama adalah mencermati bahwa perang Rusia dan Ukraina ini bersifat perang asimetris. Indonesia, melalui Presiden Jokowi, harus merumuskan konsep perdamaian seperti apa yang ingin diwujudkan.
"Kita jangan sampai meleset dalam memprediksi siapa yang memenangi perang tersebut. Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan superior seperti Rusia ternyata bisa kalah di Afghanistan. Amerika Serikat juga kalah di Vietnam dan Afghanistan," kata Susaningtyas melalui keterangan tertulis, Kamis, 23 Juni 2022.
Dia menambahkan Jokowi harus mencermati bahwa Rusia adalah kekuatan yang superior dan Ukraina adalah kekuatan yang inferior. NATO pun berusaha menancapkan kekuasaannya di Ukraina yang secara geografis berbatasan langsung dengan Rusia.
Selanjutnya, Jokowi juga harus memahami fakta bahwa perbandingan kekuatan militer dan anggaran perang jelas dimiliki Rusia. Di atas kertas, kata dia, Rusia pasti ingin melaksanakan perang dalam waktu secepat-cepatnya sementara Ukraina pasti melancarkan perang berlarut.
Jokowi pun harus mencermati fakta bahwa 40 persen gas Eropa berasal Rusia. Sebanyak 35 persen paladium dan 67 persen neon Amerika Serikat juga berasal dari Rusia.
"Patut diwaspadai oleh Pemerintah Indonesia adalah dampak perang bagi perekonomian Indonesia," kata dia.
Menurutnya, sejumlah langkah strategis juga harus disiapkan secara matang mengantisipasi jika kemungkinan terburuk terjadi. "Terutama untuk kondisi sosial politik di Indonesia," kata Susaningtyas.
Harus dicermati pula keselamatan Jokowi secara pribadi. "Karena bisa saja ada pihak yang tak suka dengan upaya perdamaian ini," ujarnya.