Jakarta: Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih terus terjadi di Indonesia. Rangkaian kekerasan tersebut seharusnya mengusik rasa malu dan menodai integritas pemangku kepentingan di negeri yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
"Kekerasan seksual saat ini banyak sekali bentuknya, baik fisik maupun nonfisik. Sedangkan aturan yang ada belum menjangkau sejumlah bentuk kekerasan seksual tersebut," kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertajuk Alarm Krisis Kekerasan pada Perempuan Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, di Jakarta, Rabu, 30 Juni 2021.
Menurut Lestari, kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) untuk mengatasi kendala aturan yang belum menjangkau kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut. Penuntasan pembahasan RUU PKS menjadi undang-undang harus didukung dalam bentuk political will dari semua pihak.
Bila tidak ada usaha yang luar biasa dalam mendorong RUU PKS menjadi undang-undang, upaya mengejar ketertinggalan di bidang hukum untuk menjawab permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan akan terganggu. Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong para pemangku kepentingan aktif merealisasikan UU PKS untuk meningkatkan peran negara menangani sejumlah kasus hukum terkait kekerasan seksual.
Lestari menegaskan semua pihak harus bersatu dalam satu gerakan bersama untuk memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Tanah Air.
Baca: RUU PKS Lindungi Penyintas Kekerasan Seksual
Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019, Azriana Manalu, menilai kekerasan seksual berkembang pesat karena belum ada mekanisme hukum yang memadai untuk mengatasinya. Menurut Azriana, sejumlah kekerasan seksual juga berusaha diatasi lewat instrumen hukum di tingkat daerah, seperti peraturan daerah (Perda).
Namun, seringkali perangkat hukum di tingkat daerah malah menciptakan salah kaprah dan tidak membuat efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual.
Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak berpendapat, kondisi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak saat ini memasuki situasi yang genting. Bila tidak ada langkah signifikan mewujudkan UU PKS, Indonesia akan dipermalukan dengan sejumlah kasus kekerasan seksual yang terus terjadi.
"Diperlukan gerakan yang masif agar wakil rakyat segera memberi keputusan terkait RUU PKS menjadi undang-undang," katanya.
Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem, Amelia Anggraini, mengatakan kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es. Amelia yakin masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan.
Menurut dia, perlu sosialisasi yang masif untuk menyadarkan semua pihak terkait maraknya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Bila perlu, tegas Amelia, penguatan cara pandang berperspektif gender masuk dalam kurikulum pendidikan nasional.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan melalui pembenahan aturan. Kulturnya pun harus diperbaiki. Sebab, kekerasan lahir dari cara pandang bias gender masyarakat terhadap perempuan.
Baca: NasDem Sekuat Tenaga Dorong RUU PKS Disahkan
Sementara itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Taufik Basari mengatakan harus ada langkah-langkah masif di berbagai lini untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Misalnya, di bidang pendidikan terkait perspektif gender, advokasi, penegakan hukum, dan legislasi.
Baleg masih menunggu badan kajian untuk memperkaya draf RUU PKS. Baleg sedang mengagendakan sejumlah pertemuan untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak, seperti ulama perempuan Indonesia dan sejumlah organisasi masyarakat lainnya. Di masa persidangan mendatang, Baleg akan masuk pada substansi pembahasan RUU PKS.
Jakarta: Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih terus terjadi di Indonesia. Rangkaian kekerasan tersebut seharusnya mengusik rasa malu dan menodai integritas pemangku kepentingan di negeri yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
"Kekerasan seksual saat ini banyak sekali bentuknya, baik fisik maupun nonfisik. Sedangkan aturan yang ada belum menjangkau sejumlah bentuk kekerasan seksual tersebut," kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertajuk Alarm Krisis Kekerasan pada Perempuan Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, di Jakarta, Rabu, 30 Juni 2021.
Menurut Lestari, kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (
PKS) untuk mengatasi kendala aturan yang belum menjangkau kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut. Penuntasan pembahasan RUU PKS menjadi undang-undang harus didukung dalam bentuk
political will dari semua pihak.
Bila tidak ada usaha yang luar biasa dalam mendorong RUU PKS menjadi undang-undang, upaya mengejar ketertinggalan di bidang hukum untuk menjawab permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan akan terganggu. Anggota Majelis Tinggi Partai
NasDem itu mendorong para pemangku kepentingan aktif merealisasikan UU PKS untuk meningkatkan peran negara menangani sejumlah kasus hukum terkait
kekerasan seksual.
Lestari menegaskan semua pihak harus bersatu dalam satu gerakan bersama untuk memutus rantai kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Tanah Air.
Baca: RUU PKS Lindungi Penyintas Kekerasan Seksual
Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019, Azriana Manalu, menilai kekerasan seksual berkembang pesat karena belum ada mekanisme hukum yang memadai untuk mengatasinya. Menurut Azriana, sejumlah kekerasan seksual juga berusaha diatasi lewat instrumen hukum di tingkat daerah, seperti peraturan daerah (Perda).
Namun, seringkali perangkat hukum di tingkat daerah malah menciptakan salah kaprah dan tidak membuat efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual.
Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak berpendapat, kondisi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak saat ini memasuki situasi yang genting. Bila tidak ada langkah signifikan mewujudkan UU PKS, Indonesia akan dipermalukan dengan sejumlah kasus kekerasan seksual yang terus terjadi.
"Diperlukan gerakan yang masif agar wakil rakyat segera memberi keputusan terkait RUU PKS menjadi undang-undang," katanya.
Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem, Amelia Anggraini, mengatakan kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es. Amelia yakin masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan.
Menurut dia, perlu sosialisasi yang masif untuk menyadarkan semua pihak terkait maraknya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Bila perlu, tegas Amelia, penguatan cara pandang berperspektif gender masuk dalam kurikulum pendidikan nasional.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan melalui pembenahan aturan. Kulturnya pun harus diperbaiki. Sebab, kekerasan lahir dari cara pandang bias gender masyarakat terhadap perempuan.
Baca: NasDem Sekuat Tenaga Dorong RUU PKS Disahkan
Sementara itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Taufik Basari mengatakan harus ada langkah-langkah masif di berbagai lini untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Misalnya, di bidang pendidikan terkait perspektif gender, advokasi, penegakan hukum, dan legislasi.
Baleg masih menunggu badan kajian untuk memperkaya draf RUU PKS. Baleg sedang mengagendakan sejumlah pertemuan untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak, seperti ulama perempuan Indonesia dan sejumlah organisasi masyarakat lainnya. Di masa persidangan mendatang, Baleg akan masuk pada substansi pembahasan RUU PKS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)