Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dinilai menjadi angin segar bagi penegakan keadilan, perlindungan, dan pendampingan bagi penyintas kekerasan seksual. Pemerintah juga telah berupaya memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan melalui perundang-undangan.
"Kita ketahui ada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), UU Nomor 23 tentang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban KDRT," ujar Ketua Bidang Perempuan dan Anak Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Amelia Anggraini, dalam acara Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk 'Alarm Krisis Kekerasan pada Perempuan Indonesia' yang dilakukan secara daring, Rabu, 30 Juni 2021.
Amelia mengatakan perlindungan hukum secara langsung dapat juga melalui lembaga, seperti Komisi Nasional (Komnas) Perempuan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun, pelaksanaannya masih ada ketidaksesuaian dengan perundang-undangan.
"Sehingga masih banyak perempuan korban kekerasan yang belum mendapatkan perlindungan hukum," ujarnya.
Hal tersebut, kata Amelia, menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan. "Oleh sebab itu kita membutuhkan undang-undang yang lebih spesifik dan jelas untuk melindungi dan mengantisipasi perempuan dari tindakan kekerasan," tegasnya.
Dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan juga masih ada beberapa hambatan. Terutama terhadap korban.
"Hambatan tersebut tidak hanya dari pemerintah maupun aparat penegak hukum dalam menangani kasus, namun juga dari korban, keluarga, dan masyarakat yang tidak melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan," terangnya.
Baca: Integritas Ternodai Ketika Tak Ada Upaya Melindungi Korban Kekerasan Seksual
Amelia menyampaikan semua pihak harus bekerja sama mengatasi kasus kekerasan dan memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan. "Jadi dengan adanya kerja sama yang baik antarsemua pihak, semua perempuan yang menjadi korban kekerasan akan lebih mudah mendapatkan perlindungan hukum," ujarnya.
Menurut dia, perlindungan dapat terwujud apabila payung hukum yang spesifik melindungi kaum perempuan dari berbagai tindak kekerasan segera hadir. Salah satunya, yaitu disahkannya RUU PKS.
Namun, dia meminta semua pihak memahami bahwa RUU PKS bersifat universal. "Jadi untuk laki-laki dan perempuan bahkan untuk anak-anak di bawah umur," kata dia.
Menurut dia, kekerasan tidak hanya dialami perempuan. Pada kenyataannya, ada juga kasus laki-laki yang menjadi korban eksploitasi seksual dari perempuan.
Jakarta: Rancangan Undang-Undang (
RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dinilai menjadi angin segar bagi penegakan keadilan, perlindungan, dan pendampingan bagi penyintas kekerasan seksual. Pemerintah juga telah berupaya memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan melalui perundang-undangan.
"Kita ketahui ada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), UU Nomor 23 tentang KDRT (
Kekerasan Dalam Rumah Tangga), Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban KDRT," ujar Ketua Bidang Perempuan dan Anak Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Amelia Anggraini, dalam acara Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk 'Alarm Krisis Kekerasan pada Perempuan Indonesia' yang dilakukan secara daring, Rabu, 30 Juni 2021.
Amelia mengatakan perlindungan hukum secara langsung dapat juga melalui lembaga, seperti Komisi Nasional (Komnas) Perempuan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun, pelaksanaannya masih ada ketidaksesuaian dengan perundang-undangan.
"Sehingga masih banyak perempuan korban kekerasan yang belum mendapatkan perlindungan hukum," ujarnya.
Hal tersebut, kata Amelia, menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan. "Oleh sebab itu kita membutuhkan undang-undang yang lebih spesifik dan jelas untuk melindungi dan mengantisipasi perempuan dari tindakan kekerasan," tegasnya.
Dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan juga masih ada beberapa hambatan. Terutama terhadap korban.
"Hambatan tersebut tidak hanya dari pemerintah maupun aparat penegak hukum dalam menangani kasus, namun juga dari korban, keluarga, dan masyarakat yang tidak melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan," terangnya.
Baca: Integritas Ternodai Ketika Tak Ada Upaya Melindungi Korban Kekerasan Seksual
Amelia menyampaikan semua pihak harus bekerja sama mengatasi kasus kekerasan dan memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan. "Jadi dengan adanya kerja sama yang baik antarsemua pihak, semua perempuan yang menjadi korban kekerasan akan lebih mudah mendapatkan perlindungan hukum," ujarnya.
Menurut dia, perlindungan dapat terwujud apabila payung hukum yang spesifik melindungi kaum perempuan dari berbagai tindak kekerasan segera hadir. Salah satunya, yaitu disahkannya
RUU PKS.
Namun, dia meminta semua pihak memahami bahwa RUU PKS bersifat universal. "Jadi untuk laki-laki dan perempuan bahkan untuk anak-anak di bawah umur," kata dia.
Menurut dia, kekerasan tidak hanya dialami perempuan. Pada kenyataannya, ada juga kasus laki-laki yang menjadi korban eksploitasi seksual dari perempuan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)