Jakarta: Polemik penunjukan anggota TNI/Polri aktif sebagai penjabat (pj) kepala daerah harus dihentikan. Penunjukan aparat sebagai pj kepala daerah dinilai langkah mundur.
"Saya kira ini babak-babak awal. Kalau ini tidak segera dicegah, apa yang sedang terjadi dengan memberikan semacam peluang kepada TNI/Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil. Saya kira ini babak yang di tahun 1998 juga ditakutkan publik ketika kemudian TNI/Polri menduduki jabatan sipil," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada wartawan, Minggu 28 Mei 2022.
Lucius menegaskan pemerintah dan DPR harus segera memastikan jabatan sipil tidak disandang anggota TNI/Polri aktif. Dia juga mengungkap potensi bahaya yang muncul jika anggota TNI/Polri aktif semakin bebas menduduki jabatan sipil. Ini diungkap Lucius menanggapi penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra Asaduddin sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
"Saya kira penting untuk sejak awal mendesak, mendorong pemerintah, dan DPR untuk memastikan tegaknya aturan terkait dengan jabatan sipil yang tidak boleh disandang TNI/Polri," ujarnya.
Menurut Lucius, penunjukan itu tidak sesuai dengan semangat dan amanat reformasi. Penunjukan ini bahkan melanggar aturan.
Baca: Penunjukan Penjabat Harus Dilakukan Sesuai Koridor
Lucius khawatir penunjukan itu hanya menjadi awal dari penunjukan pj kepala daerah yang tidak sesuai aturan. Apalagi, aroma politik semakin hangat menjelang kontestasi 2024.
"Kita juga ada di babak pembuka Pemilu 2024. Jadi kebijakan-kebijakan seperti ini saya kira juga ada hubungannya dengan konsolidasi 2024 itu," kata dia.
Lucius menilai penunjukan itu harus dihentikan karena tidak ada keuntungan pj kepala daerah dari anggota TNI/Polri aktif. Ini justru mencederai demokrasi di Indonesia.
"Tidak perlu dipertahankan, karena tidak ada untungnya juga bagi pemerintah dan bagi penguatan demokrasi kita," ucap dia.
Lucius juga mengungkap dampak buruk dari penunjukan anggota TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah. Salah satunya, otonomi jadi hilang dalam 2-3 tahun.
"Kebijakan yang diambil akan menjadi kebijakan pemerintah pusat. Semua akan jadi tumpang-tindih, tidak jelas lagi konsep otonomi daerah, berdemokrasi, dan lain sebagainya," tegas dia.
Sementara itu, pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menyatakan pengangkatan anggota TNI aktif melanggar Pasal 20 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 2015 tentang jabatan sipil yang boleh diemban adalah yang berada pada instansi pusat.
Ada juga UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. UU melarang TNI menduduki jabatan sipil di luar 10 institusi. Institusi yang tertuang di antaranya Kemenkopolhukam, Kemenhan Lembaga Sandi Nasional, dan Mahkamah Agung.
“Setidaknya 8 dari 10 yang diberikan untuk duduk di posisi masih berkaitan dengan fungsi mereka sebagai pertahanan. Pelibatan TNI aktif dalam jabatan sipil tidak boleh jauh dari fungsi pokok mereka sebagai lembaga yang berurusan dengan pertahanan negara,“ ucap Ray.
Pemerintah juga mengabaikan Pasal 47 UU Nomor 34 Ttahun 2004 yang dengan tegas pada semua prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil harus terlebih dahulu dimundurkan dari dinas aktif mereka di TNI. Terakhir, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XX/2022 yang terbit pada 20 April 2022.
“Pj ini dijadikan sebagai bagian dari memperkuat kekuasaan, bukan proses demokratisasi. Tetapi memperkuat konsolidasi pemerintah pusat dengan cara begitu mereka menempatkan orang-orang yang mendapatkan resistensi cukup kuat, karena tidak menyumbang terhadap peningkatan kualitas demokrasi,” tegas Ray.
Ketua DPR Puan Maharani juga sebelumnya meminta pemerintah melakukan proses seleksi secara transparan dan terbuka bagi partisipasi publik. Puan menekankan agar proses tersebut bebas dari kepentingan politik.
“Siapkan sarana yang memadai apabila masyarakat hendak memberi masukan dan lakukan penyaringan secara terukur dan terbebas dari kepentingan politik,” ujar Puan.
Jakarta: Polemik penunjukan anggota
TNI/Polri aktif sebagai penjabat
(pj) kepala daerah harus dihentikan. Penunjukan aparat sebagai pj kepala daerah dinilai langkah mundur.
"Saya kira ini babak-babak awal. Kalau ini tidak segera dicegah, apa yang sedang terjadi dengan memberikan semacam peluang kepada TNI/Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil. Saya kira ini babak yang di tahun 1998 juga ditakutkan publik ketika kemudian TNI/Polri menduduki jabatan sipil," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada wartawan, Minggu 28 Mei 2022.
Lucius menegaskan pemerintah dan DPR harus segera memastikan
jabatan sipil tidak disandang anggota TNI/Polri aktif. Dia juga mengungkap potensi bahaya yang muncul jika anggota TNI/Polri aktif semakin bebas menduduki jabatan sipil. Ini diungkap Lucius menanggapi penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra Asaduddin sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
"Saya kira penting untuk sejak awal mendesak, mendorong pemerintah, dan DPR untuk memastikan tegaknya aturan terkait dengan jabatan sipil yang tidak boleh disandang TNI/Polri," ujarnya.
Menurut Lucius, penunjukan itu tidak sesuai dengan semangat dan amanat reformasi. Penunjukan ini bahkan melanggar aturan.
Baca:
Penunjukan Penjabat Harus Dilakukan Sesuai Koridor
Lucius khawatir penunjukan itu hanya menjadi awal dari penunjukan pj kepala daerah yang tidak sesuai aturan. Apalagi, aroma politik semakin hangat menjelang kontestasi 2024.
"Kita juga ada di babak pembuka Pemilu 2024. Jadi kebijakan-kebijakan seperti ini saya kira juga ada hubungannya dengan konsolidasi 2024 itu," kata dia.
Lucius menilai penunjukan itu harus dihentikan karena tidak ada keuntungan pj kepala daerah dari anggota TNI/Polri aktif. Ini justru mencederai demokrasi di Indonesia.
"Tidak perlu dipertahankan, karena tidak ada untungnya juga bagi pemerintah dan bagi penguatan demokrasi kita," ucap dia.