Jakarta: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dinilai membutuhkan pemimpin yang mampu memberikan efek elektoral. Pasalnya, PPP terancam ditinggalkan bila tak punya pemimpin yang berpotensial menjadi magnet publik.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA, Toto Izul Fatah, menyebut partai berlambang Ka'bah menghadapi situasi sulit di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Aneka program dan sistem organisasi dari PPP tak akan banyak membawa efek elektoral jika tak ada figur moncer sebagai pemimpin.
"Rentetan kasus hukum yang telah menyeret beberapa ketua umumnya masuk penjara, membuat PPP kehilangan legitimasi moral untuk jualan program sebagai daya tarik partai," kata Toto di Jakarta, Rabu, 26 Agustus 2020.
Menurut dia, PPP membutuhkan figur yang kuat karena partai tersebut memilih kelompok Islam sebagai captive market yang turun temurun sejak Orde Baru. Sementara itu, ceruk yang sama sekarang sudah diambil merata partai berbasis Islam lain, seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Idealnya kekuasaan bisa seperti Golkar yang tidak tergantung pada figur ketua umum karena punya sistem yang relatif kokoh dengan cengkraman kuku birokrasi kekuasaan yang kuat dan merata. Namun, untuk PPP dalam konteks hari ini sangat rawan nasibnya jika tak segera memiliki figur yang punya kapasitas personal dan bermagnet elektoral,” jelas dia.
Toto menilai belum ada figur di internal PPP yang punya potensi mengerek elektoral partai tersebut. PPP harus membuka peluang kepada figur di luar partai untuk menjadi pemimpin.
Toto menyebut ada dua nama yang bisa mengantarkan PPP kembali menjadi partai besar. Keduanya yakni mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan pengusaha Sandiaga Uno.
“Sejauh ini, hanya Pak Gatot dan Pak Sandi yang memenuhi kriteria tersebut, baik secara intelektual, moral, electokal dan modal sosial,” ujar dia.
Namun, Toto mengakui kemungkinan ada resistensi dari sebagian kelompok internal terhadap kedua figur tersebut. Sandi masih menjadi pengurus di Partai Gerindra, sedangkan Gatot memilih jalan oposisi sebagai salah satu deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
“Ini memang pilihan pahit. Kalau bicara penyelamatan partai agar tidak makin terpuruk, dan bahkan karam, suka atau tidak, PPP butuh darah segar yang bisa memanggil pulang kandang kembali para pemilih tradisionalnya yang ideologis, tapi sekaligus membawa segmen pemilih baru,” ujar dia.
Menurut Toto, Sandi dan Gatot sebetulnya bukan hanya mumpuni secara personal sebagai pemimpin, tapi juga memiliki potensi kesamaan ‘darah’ dengan PPP. Gatot misalnya, selain nasionalis sebagai mantan tentara, dia dianggap agamis.
"Ada kombinasi dua hijau, yaitu hijau tentara dan hijau Islam," ucap dia.
Baca: PPP Ingin Jaga Stabilitas Akar Rumput Jelang Pilkada
Begitu juga dengan Sandi. Dia menilai Sandi bisa menarik segmen milenial dan mak-mak. Hal itu pernah ditunjukkan Sandi saat maju sebagai calon wakil presiden para Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Toto menilai Sandi juga sosok santun yang sangat mungkin diterima para stakeholder yang selama ini menjadi simpul penting di PPP, seperti para ulama, kiai dan ustaz. Sandi bisa menjadi figur tengah dari lima kelompok yang ada di PPP, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Sarekat Islam (SI).
Jakarta: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dinilai membutuhkan pemimpin yang mampu memberikan efek elektoral. Pasalnya, PPP terancam ditinggalkan bila tak punya pemimpin yang berpotensial menjadi magnet publik.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA, Toto Izul Fatah, menyebut partai berlambang Ka'bah menghadapi situasi sulit di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Aneka program dan sistem organisasi dari PPP tak akan banyak membawa efek elektoral jika tak ada figur moncer sebagai pemimpin.
"Rentetan kasus hukum yang telah menyeret beberapa ketua umumnya masuk penjara, membuat PPP kehilangan legitimasi moral untuk jualan program sebagai daya tarik partai," kata Toto di Jakarta, Rabu, 26 Agustus 2020.
Menurut dia, PPP membutuhkan figur yang kuat karena partai tersebut memilih kelompok Islam sebagai
captive market yang turun temurun sejak Orde Baru. Sementara itu, ceruk yang sama sekarang sudah diambil merata partai berbasis Islam lain, seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Idealnya kekuasaan bisa seperti Golkar yang tidak tergantung pada figur ketua umum karena punya sistem yang relatif kokoh dengan cengkraman kuku birokrasi kekuasaan yang kuat dan merata. Namun, untuk PPP dalam konteks hari ini sangat rawan nasibnya jika tak segera memiliki figur yang punya kapasitas personal dan bermagnet elektoral,” jelas dia.
Toto menilai belum ada figur di internal PPP yang punya potensi mengerek elektoral partai tersebut. PPP harus membuka peluang kepada figur di luar partai untuk menjadi pemimpin.
Toto menyebut ada dua nama yang bisa mengantarkan PPP kembali menjadi partai besar. Keduanya yakni mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan pengusaha Sandiaga Uno.