Jakarta: Kerja Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi alias Pansus Angket KPK tak lama lagi bakal diparipurnakan. Meski sempat diperpanjang tanpa batasan waktu yang pasti, keputusan politik memaksa kerja Pansus Angket KPK yang dibentuk lewat Rapat Paripurna DPR pada 30 Mei 2017 itu berakhir.
Lima fraksi yang aktif terlibat dalam kegiatan Pansus Angket KPK yakni Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai NasDem, dan Partai Hanura resmi menyatakan diri mundur. Padahal, angket yang merupakan hak konstitusional DPR itu mendapat mandat merampungkan tugas tanpa batas waktu hingga pimpinan KPK bersedia memberi keterangan dalam rapat pansus.
Pimpinan KPK sudah berkali-kali menolak undangan hadir ke rapat pansus. Bahkan, pimpinan KPK pun ikut-ikutan mempersoalkan legalitas pansus yang kemudian berbuah polemik.
Keputusan menarik diri itu diawali saat terpilihnya Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto yang menggantikan Setya Novanto. Perbedaan pandangan dan dukungan publik membikin partai berlambang pohon beringin ini menarik diri dari Pansus Angket KPK. Bahkan instruksi itu langsung diberikan sebelum Ketua DPR Bambang Soesatyo dilantik.
Keputusan Partai Golkar itu diikuti pimpinan partai lainnya. Alasannya, Pansus Angket KPK yang kerap menimbulkan polemik itu dinilai tak baik di tengah gencarnya membangun citra positif partai politik jelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
(Baca juga: KPK Anggap Pansus Hak Angket tak Pernah Ada)
"DPR ini kan lembaga politik, keputusannya keputusan politik bukan keputusan hukum, konsekuensinya biar publik yang menilai sendiri," kata Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin, 5 Februari 2018.
Agun berujar, keputusan politik merupakan sebuah proses. Kepastiannya, tak bisa diukur berdasarkan parameter tertentu. Namun demikian, kata dia, keputusan yang dibuat bakal dipertanggungjawabkan untuk dinilai publik.
"Ada awal ada akhir, ada proses tahapan-tahapan, ada konsistensi dan ada inkonsistensi, ada perubahan sikap, ada perubahan pandangan. Itu kan konsekuensi, tapi tetap pertanggungjawabannya, publik yang akan melihat itu," ungkap Agun.
(Baca juga: Pansus Angket KPK Hasilkan Tiga Rekomendasi)
Politikus Golkar itu tak sepakat perjuangan Pansus Angket KPK disebut antiklimaks. Baginya, kehebohan yang terjadi ulah sorotan media yang menjadikan masalah sederhana menjadi besar.
"Kami kerja normatif, sesuai langkah-langkah yang ada, sesuai dengan fakta-fakta yang ada," ucap dia.
Kesepakatan mengakhiri Pansus Angket KPK, kata Agun, merupakan sikap politik yang wajar. Menurutnya, DPR sebagai lembaga politik bergantung pada situasi dan dinamika yang terjadi.
"Lembaga politik itu situasi perkembangan, dinamika politik itu mewarnai. Contohnya misalkan, kita Pansus tidak mungkin tidak berakhir, wong tahun 2018 ini tahun politik, semua orang akan sibuk dengan Pilkada," tambah dia.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/GNlJdmBk" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Kerja Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi alias Pansus Angket KPK tak lama lagi bakal diparipurnakan. Meski sempat diperpanjang tanpa batasan waktu yang pasti, keputusan politik memaksa kerja Pansus Angket KPK yang dibentuk lewat Rapat Paripurna DPR pada 30 Mei 2017 itu berakhir.
Lima fraksi yang aktif terlibat dalam kegiatan Pansus Angket KPK yakni Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai NasDem, dan Partai Hanura resmi menyatakan diri mundur. Padahal, angket yang merupakan hak konstitusional DPR itu mendapat mandat merampungkan tugas tanpa batas waktu hingga pimpinan KPK bersedia memberi keterangan dalam rapat pansus.
Pimpinan KPK sudah berkali-kali menolak undangan hadir ke rapat pansus. Bahkan, pimpinan KPK pun ikut-ikutan mempersoalkan legalitas pansus yang kemudian berbuah polemik.
Keputusan menarik diri itu diawali saat terpilihnya Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto yang menggantikan Setya Novanto. Perbedaan pandangan dan dukungan publik membikin partai berlambang pohon beringin ini menarik diri dari Pansus Angket KPK. Bahkan instruksi itu langsung diberikan sebelum Ketua DPR Bambang Soesatyo dilantik.
Keputusan Partai Golkar itu diikuti pimpinan partai lainnya. Alasannya, Pansus Angket KPK yang kerap menimbulkan polemik itu dinilai tak baik di tengah gencarnya membangun citra positif partai politik jelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
(Baca juga:
KPK Anggap Pansus Hak Angket tak Pernah Ada)
"DPR ini kan lembaga politik, keputusannya keputusan politik bukan keputusan hukum, konsekuensinya biar publik yang menilai sendiri," kata Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin, 5 Februari 2018.
Agun berujar, keputusan politik merupakan sebuah proses. Kepastiannya, tak bisa diukur berdasarkan parameter tertentu. Namun demikian, kata dia, keputusan yang dibuat bakal dipertanggungjawabkan untuk dinilai publik.
"Ada awal ada akhir, ada proses tahapan-tahapan, ada konsistensi dan ada inkonsistensi, ada perubahan sikap, ada perubahan pandangan. Itu kan konsekuensi, tapi tetap pertanggungjawabannya, publik yang akan melihat itu," ungkap Agun.
(Baca juga:
Pansus Angket KPK Hasilkan Tiga Rekomendasi)
Politikus Golkar itu tak sepakat perjuangan Pansus Angket KPK disebut antiklimaks. Baginya, kehebohan yang terjadi ulah sorotan media yang menjadikan masalah sederhana menjadi besar.
"Kami kerja normatif, sesuai langkah-langkah yang ada, sesuai dengan fakta-fakta yang ada," ucap dia.
Kesepakatan mengakhiri Pansus Angket KPK, kata Agun, merupakan sikap politik yang wajar. Menurutnya, DPR sebagai lembaga politik bergantung pada situasi dan dinamika yang terjadi.
"Lembaga politik itu situasi perkembangan, dinamika politik itu mewarnai. Contohnya misalkan, kita Pansus tidak mungkin tidak berakhir, wong tahun 2018 ini tahun politik, semua orang akan sibuk dengan Pilkada," tambah dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)