Jakarta: Pengamat Hukum dan Pemilu, Syamsuddin Radjab menyebut rencana peniadaan verifikasi faktual partai politik akan menyebabkan kusutnya pemilu. Logika hukum yang dibangun Komisi II DPR dan Pemerintah itu dinilai tidak tepat.
Menurut Radjab, keputusan mengakomodasi sistem informasi partai politik (Sipol) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan alat verifikasi partai politik. Sistem itu hanya bagian dari kebutuhan pengecekan lembaga parpol.
"Kalau dianggap itu verifikasi faktual gimana caranya? Sesuatu yang tidak mungkin dimungkinkan, itulah makin kusutnya pemilu kita ini," kata Syamsuddin dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 20 Januari 2018.
Baca: KPU Tetap Verifikasi Parpol
Menurut Radjab, DPR, Pemerintah, dan penyelenggara pemilu terkesan hanya mengurangi beban jika meniadakan verifikasi faktual parpol. Ia mengingatkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kedudukan hukum yang sifatnya mengikat dan tak bisa dibantah. Dengan begitu, putusan MK harus dilakukan.
"Karena putusan MK itu secara sifat sama dengan UU," jelas Syamsuddin.
Radjab mengatakan, harusnya DPR melihat lebih jeli aturan dalam UU Pemilu dan Peraturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dua peraturan itu menurutnya secara jelas mengatur verifikasi faktual partai politik.
"Verifikasi faktual jadi selama ini ada preseden, sejak pertama kali kita lakukan ada verifikasi faktual di pemilu," ungkap Syamsuddin.
Pembahasan mengenai verifikasi faktual dimulai sejak putusan MK yang mengabulkan gugatan uji materi Pasal 173 Ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. Dengan dikabulkannya gugatan itu, seluruh parpol baik yang mengikuti Pemilu 2014 maupun yang baru mendaftar di 2018 harus menjalani verifikasi faktual.
Baca: Istilah Verifikasi Faktual Ulang Parpol Sepakat Disesuaikan
KPU sejatinya telah menjadwalkan verifikasi faktual bagi parpol baru dan akan berlangsung hingga 17 Februari 2018, sebelum ditetapkan lolos pada 20 Februari 2018. Ketua KPU Arief Budiman memberikan dua opsi atas kondisi ini, yakni revisi UU dan Perppu. "Bagi KPU apa pun pilihannya kita siap laksanakan, sepanjang itu memungkinkan terhadap banyak hal," kata Arief beberapa waktu lalu.
Namun, DPR, Kemendagri, KPU dan Bawaslu menyepakati UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tetap digunakan dengan penyesuaian.
Ketua Komisi II Zainudin Amali menyimpulkan tidak melakukan perubahan ihwal PKPU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2019.
PKPU Nomor 7 juga disepakati untuk disesuaikan dengan PKPU Nomor 11 tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Parpol Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD.
Hasil penyesuaian ini pun membuat sipol KPU diakomodasi. Dengan begitu, verifikasi faktual ulang dianggap telah dilakukan.
Jakarta: Pengamat Hukum dan Pemilu, Syamsuddin Radjab menyebut rencana peniadaan verifikasi faktual partai politik akan menyebabkan kusutnya pemilu. Logika hukum yang dibangun Komisi II DPR dan Pemerintah itu dinilai tidak tepat.
Menurut Radjab, keputusan mengakomodasi sistem informasi partai politik (Sipol) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan alat verifikasi partai politik. Sistem itu hanya bagian dari kebutuhan pengecekan lembaga parpol.
"Kalau dianggap itu verifikasi faktual gimana caranya? Sesuatu yang tidak mungkin dimungkinkan, itulah makin kusutnya pemilu kita ini," kata Syamsuddin dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 20 Januari 2018.
Baca:
KPU Tetap Verifikasi Parpol
Menurut Radjab, DPR, Pemerintah, dan penyelenggara pemilu terkesan hanya mengurangi beban jika meniadakan verifikasi faktual parpol. Ia mengingatkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kedudukan hukum yang sifatnya mengikat dan tak bisa dibantah. Dengan begitu, putusan MK harus dilakukan.
"Karena putusan MK itu secara sifat sama dengan UU," jelas Syamsuddin.
Radjab mengatakan, harusnya DPR melihat lebih jeli aturan dalam UU Pemilu dan Peraturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dua peraturan itu menurutnya secara jelas mengatur verifikasi faktual partai politik.
"Verifikasi faktual jadi selama ini ada preseden, sejak pertama kali kita lakukan ada verifikasi faktual di pemilu," ungkap Syamsuddin.
Pembahasan mengenai verifikasi faktual dimulai sejak putusan MK yang mengabulkan gugatan uji materi Pasal 173 Ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. Dengan dikabulkannya gugatan itu, seluruh parpol baik yang mengikuti Pemilu 2014 maupun yang baru mendaftar di 2018 harus menjalani verifikasi faktual.
Baca:
Istilah Verifikasi Faktual Ulang Parpol Sepakat Disesuaikan
KPU sejatinya telah menjadwalkan verifikasi faktual bagi parpol baru dan akan berlangsung hingga 17 Februari 2018, sebelum ditetapkan lolos pada 20 Februari 2018. Ketua KPU Arief Budiman memberikan dua opsi atas kondisi ini, yakni revisi UU dan Perppu. "Bagi KPU apa pun pilihannya kita siap laksanakan, sepanjang itu memungkinkan terhadap banyak hal," kata Arief beberapa waktu lalu.
Namun, DPR, Kemendagri, KPU dan Bawaslu menyepakati UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tetap digunakan dengan penyesuaian.
Ketua Komisi II Zainudin Amali menyimpulkan tidak melakukan perubahan ihwal PKPU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2019.
PKPU Nomor 7 juga disepakati untuk disesuaikan dengan PKPU Nomor 11 tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Parpol Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD.
Hasil penyesuaian ini pun membuat sipol KPU diakomodasi. Dengan begitu, verifikasi faktual ulang dianggap telah dilakukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)