Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez

Perjuangan Mengembalikan Hak Bangsa Palestina Harus Konsisten

Achmad Zulfikar Fazli • 13 Juni 2024 00:05
Jakarta: Upaya memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina harus dilakukan secara konsisten. Ini sebagai bagian dari pelaksanaan nilai-nilai Pancasila yang menjujung tinggi kemanusiaan. 
 
"Solidaritas pada yang tertindas, menderita, termarjinalkan dan mengalami subordinasi, merupakan panggilan kemanusiaan yang menembus semua sekat perbedaan dan setiap struktur kuasa," kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Keberpihakan Perempuan Pancasila: Bentuk Solidaritas untuk Perempuan dan Anak-Anak di Konflik Palestina-Israel, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 12 Juni 2024. 
 
Menurut Lestari, dalam kapasitas kemanusiaan, setiap bentuk normalisasi pada kekerasan tidak dapat diterima dengan alasan apa pun.

Perempuan Pancasila, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, dapat disimpulkan sebagai perempuan yang mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap pergerakan dan perjuangannya. 
 
Baca Juga: 24 Jam Terakhir, 40 Warga Palestina Tewas Diserang Israel

Nilai-nilai Pancasila itu memiliki intisari nilai gotong-royong yang mengandung makna solidaritas dan keramahan. 
 
Berbekal semangat membangun solidaritas antarumat manusia, Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap, perempuan Indonesia dapat berperan aktif dengan berbagai cara dalam upaya penegakan hak-hak masyarakat dan kemerdekaan bangsa Palestina. 

Krisis Kemanusiaan

Sementara itu, anggota DPR, Willy Aditya mengungkapkan krisis kemanusiaan di Palestina justru pemicunya adalah krisis kemanusiaan yang terjadi pada para pemimpin Israel. Mereka tanpa pandang bulu membombardir Palestina. 
 
Sejatinya, menurut Willy, bukan bangsa Palestina yang paling bertanggung jawab atas derita bangsa Yahudi. Bangsa Eropa yang seharusnya bertanggung jawab. 
 
Kenyataannya, jelas Willy, dunia internasional tidak mampu menghentikan konflik yang terjadi di Palestina. 

Konstruksi Powersharing

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, berpendapat berkepanjangannya konflik Palestina-Israel memperlihatkan mekanisme yang ditegakkan pasca-Perang Dunia ke-2 tidak mampu merespons dengan baik konflik-konflik tersebut. 
 
Menurut Andy, perang dan konflik bukan barang baru dan secara umum memiliki konstruksi yang sangat maskulin, karena satu pihak harus menaklukan yang lainnya. Menurut dia, perlu ada konstruksi powersharing
 
Akibat konstruksinya maskulin, jelas dia, pihak selain maskulin, seperti perempuan dan anak, banyak menjadi korban dalam beragam konflik. 
 
Di sisi lain, ujar Andy, di tengah situasi perempuan menjadi korban, sejumlah perempuan pun ada yang menjadi kombatan untuk ikut bertempur, serta menjadi bagian dari pasukan perdamaian dalam proses menghentikan konflik. 
 
Andy berharap sejumlah upaya seperti cegah kontak senjata, bantuan terhadap pengungsi, dan mencegah kekerasan berbasis gender, harus dilakukan konsisten. 
 
Pemerintah Indonesia juga harus terus mendorong agar pihak yang berkonflik mereformasi konstitusinya untuk mewujudkan hidup damai berdampingan yang bermartabat.

Kekerasan Gender

Dalam kesempatan sama, Kepala Pusat Riset Politik, BRIN Athiqah Nur Alami, berpendapat perang Palestina-Israel sangat kental dengan isu gender terkait kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak.
 
Athiqah mengakui Israel masuk dalam black list negara yang menciptakan jumlah korban anak-anak dan perempuan dalam perang. 
 
UN report on Children in Armed Conflict mencatat, tambah dia, jumlah korban sejak 7 Okt 2023 sekitar 13.000 anak dan 9.000 perempuan meninggal dan luka-luka. 
 
Menurut Athiqah, dalih self defense yang dilontarkan Israel saat menyerang Palestina sudah tidak valid lagi, karena serangan Israel mengarah ke genosida.

Advokasi korban konflik Israel-Palestina

Pakar Geopolitik Timur Tengah, Dina Y. Sulaeman berpendapat untuk mengetahui cara mengadvokasi korban konflik Israel-Palestina harus tahu posisi perempuan dan anak. 
 
Pemerintah Indonesia, ujar Dina, selalu berpendapat Palestina belum merdeka. Sehingga, perempuan dan anak Palestina belum merdeka dan wilayahnya sedang diduduki. 
 
Dina mengatalan sejak awal kedatangan bangsa Yahudi ke tanah Palestina memang merupakan aksi kolonialisme dengan melakukan perpindahan penduduk lalu mereka menetap di negara jajahan dan mereka berupaya mengontrol kekuasaan. 
 
Dengan posisi seperti itu, menurut Dina, tentu tidak ada yang salah dengan perjuangan orang-orang Palestina untuk merdeka dengan cara apa pun. 
 
Baca Juga: 274 Orang Tewas Diserang Israel, Palestina Minta Sidang Darurat DK PBB

Selain itu, menurut Dina, untuk mengadvokasi perempuan Palestina harus berlandaskan kemanusiaan yang adil dan beradab. 
 
Menurut Dina, sejumlah aksi kekerasan sudah dilakukan oleh Israel sebagai penjajah. Seharusnya, tegas dia, bukan peace keeping yang diupayakan, tetapi menghentikan kekerasan terhadap kemanusiaan yang dilakukan negara terhadap negara lain.

Perempuan Suarakan Pelanggaran di Palestina

Direktur Sarinah Institute, Eva Kusuma Sundari, berpendapat lima sila dalam Pancasila dilanggar dalam kasus pendudukan Palestina. Hak-hak perempuan dan anak pun, tambah dia, dinafikan dalam konflik tersebut. 
 
Eva mengakui memang banyak perempuan melakukan aksi terkait konflik Israel-Palestina, tetapi isu yang disuarakan dalam aksi itu mengikuti yang disuarakan laki-laki. Eva sangat berharap para perempuan dapat menyuarakan hak-hak perempuan Palestina yang dilanggar. 
 
Menurut Eva, salah satu yang harus dicermati dalam konflik Israel-Palestina adalah mengapa Israel berani melakukan berbagai pelanggaran kemanusiaan di Palestina. Dukungan kuat dari Amerika Serikat yang membuat aksi genosida di Palestina berlanjut. 
 
Menurut Eva, saat ini terjadi krisis kemanusiaan dan krisis penegakan hukum internasional terkait konflik Israel-Palestina.
 
Berkepanjangannya konflik Israel-Palestina, menurut Eva, merupakan tanda skema internasional yang melanggengkan berlangsungnya kolonialisme baru masih eksis. 
 
Eva berpendapat terkait krisis Israel-Palestina bantuan kemanusiaan harus dilanjutkan, karena kondisi masyarakat Palestina saat ini antara hidup dan mati.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan