medcom.id, Jakarta: Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen salah logika. Sebab, dalam dua periode sebelumnya, pemilu tidak dilaksanakan serentak seperti Pemilu 2019.
"Enggak nyambung logikanya karena pemilunya tidak serentak. Makanya tidak ramai, pileg dulu baru pilpres," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 31 Juli 2017.
Pada dua periode sebelumnya, jelas dia, pemilu legislatif dilakukan sebelum pemilu presiden. Hasil dari pileg akan diketahui sebelum pilpres dilaksanakan.
"Kalau sekarang ini ramai karena pemilunya serentak, lantas mau pakai threshold yang mana? Threshold bekas, yang dulu? Ini logika sederhana, elementer. Tapi menurut saya, salah logika itu," tegas dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengkritik Undang Undang (UU) Pemilu yang baru saja disahkan DPR. Kritik Prabowo mengarah pada ketentuan ambang batas pencalonan presiden.
"Presidential Threshold 20 persen, menurut kami adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia," ketus Prabowo.
(Baca juga: Prabowo Sebut Presidential Threshold Lelucon Politik)
Mendengar pernyataan tersebut, Presiden Jokowi mengatakan, ambang batas Pemilihan Presiden diperlukan untuk melahirkan presiden yang berkualitas serta memiliki dukungan mayoritas parlemen.
Jokowi yang didukung 38 persen kekuatan parpol di parlemen mengaku kewalahan, apalagi jika presiden terpilih memiliki kursi yang minim di parlemen.
(Baca juga: Jokowi Heran Presidential Threshold Dipermasalahkan)
Jokowi juga heran, polemik ambang batas pencalonan presiden itu baru diributkan sekarang. Padahal, dalam dua periode pemilu sebelumnya, ambang batas pencalonan presiden juga 20-25 persen.
"Kenapa dulu tidak ramai? Dulu ingat, dulu (Gerindra dan Demokrat) meminta dan mengikuti (ambang batas 20-25 persen), kok sekarang jadi berbeda?" ucapnya saat itu.
medcom.id, Jakarta: Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai ambang batas pencalonan presiden atau
presidential threshold sebesar 20 persen salah logika. Sebab, dalam dua periode sebelumnya, pemilu tidak dilaksanakan serentak seperti Pemilu 2019.
"Enggak nyambung logikanya karena pemilunya tidak serentak. Makanya tidak ramai, pileg dulu baru pilpres," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 31 Juli 2017.
Pada dua periode sebelumnya, jelas dia, pemilu legislatif dilakukan sebelum pemilu presiden. Hasil dari pileg akan diketahui sebelum pilpres dilaksanakan.
"Kalau sekarang ini ramai karena pemilunya serentak, lantas mau pakai
threshold yang mana?
Threshold bekas, yang dulu? Ini logika sederhana, elementer. Tapi menurut saya, salah logika itu," tegas dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengkritik Undang Undang (UU) Pemilu yang baru saja disahkan DPR. Kritik Prabowo mengarah pada ketentuan ambang batas pencalonan presiden.
"
Presidential Threshold 20 persen, menurut kami adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia," ketus Prabowo.
(Baca juga:
Prabowo Sebut Presidential Threshold Lelucon Politik)
Mendengar pernyataan tersebut, Presiden Jokowi mengatakan, ambang batas Pemilihan Presiden diperlukan untuk melahirkan presiden yang berkualitas serta memiliki dukungan mayoritas parlemen.
Jokowi yang didukung 38 persen kekuatan parpol di parlemen mengaku kewalahan, apalagi jika presiden terpilih memiliki kursi yang minim di parlemen.
(Baca juga:
Jokowi Heran Presidential Threshold Dipermasalahkan)
Jokowi juga heran, polemik ambang batas pencalonan presiden itu baru diributkan sekarang. Padahal, dalam dua periode pemilu sebelumnya, ambang batas pencalonan presiden juga 20-25 persen.
"Kenapa dulu tidak ramai? Dulu ingat, dulu (Gerindra dan Demokrat) meminta dan mengikuti (ambang batas 20-25 persen), kok sekarang jadi berbeda?" ucapnya saat itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)