Ilustrasi/Medcom.id
Ilustrasi/Medcom.id

Pembahasan RUU MK Dikritisi

Siti Yona Hukmana • 28 Agustus 2020 17:20
Jakarta: Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) dikritisi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencuriga ada konflik kepentingan dalam revisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK itu. 
 
Revisi aturan disebut sebagai alat barter politik. "RUU MK ini kan menguntungkan bagi Mahkamah Konstitusi tadi sudah saya sebutkan 95 persen hakim konstitusi akan melenggang dengan santai untuk menjadi hakim konstitusi kembali ketika RUU ini disahkan," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers daring, Jumat, 28 Agustus 2020. 
 
Kurnia memandang RUU MK bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dan DPR dalam proses judicial review (JR) terkait UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR, kata Kurnia, pasti menginginkan MK menolak JR terkait dua UU tersebut. 

"Di situ kita melihat atau kita khawatir barang ini atau RUU MK ini dijadikan barter politik," ujar Kurnia. 
 
Baca: Pemerintah Dukung Revisi UU MK
 
Sementara dari pihak MK, lanjut Kurnia, mendapatkan keuntungan terkait masa jabatan lebih lama. Hakim MK berpeluang menjabat lagi ketika usia jabatan dinaikkan hingga usia pensiun, yaitu 70 tahun. 
 
 

Kurnia mengaku pihaknya telah mengingatkan DPR, Presiden Joko Widodo dan tim hukum pemerintah untuk memberikan saran yang benar terkait RUU MK tersebut. Agar, kata dia, pembentukan UU tidak menyesatkan. 
 
Menurut dia, terdapat tiga permasalahan pokok dari 14 poin perubahan rancangan UU (RUU) tersebut. Pertama, kenaikan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dari dua tahun enam bulan menjadi lima tahun.
 
Kedua, menaikkan syarat usia minimal hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 60 tahun. Ketiga, masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang menjadi hingga usia pensiun, yaitu 70 tahun.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan