Jakarta: Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tidak mendesak. Ia menyatakan, revisi UU MD3 hanya melambangkan ketidakmampuan anggota parlemen dalam menunjukan kedewasaan dalam berpolitik.
"Jangan membawa negara untuk menanggung konsekuensi (atas ketidak dewasaan politik)," ujar Titi dalam sambungan telpon program Primetime News Metro TV, Jakarta Barat, Jumat, 6 September 2019.
Salah satu poin revisi yang ia soroti terkait komposisi pimpinan MPR berjumlah 10 orang yang terdiri satu ketua dan sembilan wakil ketua. Poin itu dipastikan akan menyedot cukup besar Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Ia menilai, ini tidak sejalan dengan visi misi Presiden Joko Widodo yang akan mengoptimalisasi APBN untuk kepentingan rakyat sebesar-besarnya.
Menurut dia, MPR, DPR, DPD, maupun DPRD harus dapat menunjukan kinerja yang memuaskan masyarakat di akhir masa jabatan. Lantaran ia pesimistis dengan formasi sembilan kursi kepimpinan akan membuat kinerja MPR lebih baik.
"Jadi untuk simbolisasi (persatuan) tidak benar, konsekuensi berdampak panjang bagi seluruh pihak, tidak hanya anggaran. Jangan-jangan ini membuat publik jauh atas kepercayaan dari institusi legislatif kita," pungkasnya.
Anggota DPR Komisi II Ahmad Baidowi di sisi lain mengatakan, revisi UU MD3 merupakan upaya untuk mempersatukan komponen bangsa. Sebagaimana yang tercermin dalam poin penambahan pimpin MPR menjadi 10 orang.
"Kita ingin mengajarkan simbol-simbol di MPR bisa disatukan, kekuatan semua elemen bangsa yang masuk ke parlemen bisa disatukan di MPR," ujar Ahmad.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyakini revisi UU MD3 tidak memerlukan APBN yang besar. Fasilitas penunjang kinerja pimpinan MPR yang terpilih, nantinya tidak harus sama dengan saat ini.
Pasalnya untuk 2020, MPR mengalokasikan anggaran untuk lima pimpinan MPR sebesar Rp46 miliar. Anggaran tersebut menurut dia tidak perlu ditambah, meski ada tambahan lima pimpinan.
"Misalnya pagu dari pemerintah Rp45 miliar kalau dibagi 10 (pimpinan) tidak ada masalah, temen-temen (MPR) saya kira tidak menjadi persoalan. Kita menyesuaikan dengan keuangan negara, tidak harus protokolernya sama dengan yang kemarin," jelasnya.
Ia memastikan, penambahan pimpinan MPR dapat meningkatkan kinerja dalam merampungkan tugas-tugas yang belum terjamah. Terutama dalam perubahan undang-undang.
"Misalkan agenda amendemen yang diagendakan bertahun-tahun tidak selesai, peningkatan sosialisasi penyelenggaran empat pilar kebangsaan itu penting," tuturnya.
Jakarta: Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tidak mendesak. Ia menyatakan, revisi UU MD3 hanya melambangkan ketidakmampuan anggota parlemen dalam menunjukan kedewasaan dalam berpolitik.
"Jangan membawa negara untuk menanggung konsekuensi (atas ketidak dewasaan politik)," ujar Titi dalam sambungan telpon program Primetime News Metro TV, Jakarta Barat, Jumat, 6 September 2019.
Salah satu poin revisi yang ia soroti terkait komposisi pimpinan MPR berjumlah 10 orang yang terdiri satu ketua dan sembilan wakil ketua. Poin itu dipastikan akan menyedot cukup besar Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Ia menilai, ini tidak sejalan dengan visi misi Presiden Joko Widodo yang akan
mengoptimalisasi APBN untuk kepentingan rakyat sebesar-besarnya.
Menurut dia, MPR, DPR, DPD, maupun DPRD harus dapat menunjukan kinerja yang memuaskan masyarakat di akhir masa jabatan. Lantaran ia pesimistis dengan formasi sembilan kursi kepimpinan akan membuat kinerja MPR lebih baik.
"Jadi untuk simbolisasi (persatuan) tidak benar, konsekuensi berdampak panjang bagi seluruh pihak, tidak hanya anggaran. Jangan-jangan ini membuat publik jauh atas kepercayaan dari institusi legislatif kita," pungkasnya.
Anggota DPR Komisi II Ahmad Baidowi di sisi lain mengatakan, revisi UU MD3 merupakan upaya untuk mempersatukan komponen bangsa. Sebagaimana yang tercermin dalam poin penambahan pimpin MPR menjadi 10 orang.
"Kita ingin mengajarkan simbol-simbol di MPR bisa disatukan, kekuatan semua elemen bangsa yang masuk ke parlemen bisa disatukan di MPR," ujar Ahmad.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyakini
revisi UU MD3 tidak memerlukan APBN yang besar. Fasilitas penunjang kinerja pimpinan MPR yang terpilih, nantinya tidak harus sama dengan saat ini.
Pasalnya untuk 2020, MPR mengalokasikan anggaran untuk lima pimpinan MPR sebesar Rp46 miliar. Anggaran tersebut menurut dia tidak perlu ditambah, meski ada tambahan lima pimpinan.
"Misalnya pagu dari pemerintah Rp45 miliar kalau dibagi 10 (pimpinan) tidak ada masalah, temen-temen (MPR) saya kira tidak menjadi persoalan. Kita menyesuaikan dengan keuangan negara, tidak harus protokolernya sama dengan yang kemarin," jelasnya.
Ia memastikan, penambahan pimpinan MPR dapat meningkatkan kinerja dalam merampungkan tugas-tugas yang belum terjamah. Terutama dalam perubahan undang-undang.
"Misalkan
agenda amendemen yang diagendakan bertahun-tahun tidak selesai, peningkatan sosialisasi penyelenggaran empat pilar kebangsaan itu penting," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(DMR)