Jakarta: Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Pramono Ubaid Tanthowi, menyampaikan dissenting opinion ihwal pemecatan Arief Budiman sebagai ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sanksi pemecatan dianggap berlebihan.
“Saudara Arief Budiman tidak selayaknya untuk dijatuhi sanksi paling berat baik berupa pemberhentian tetap sebagai anggota atau dari jabatan ketua,” kata Pramono dalam suratnya kepada ketua dan anggota DKPP seperti dikutip Medcom.id, Rabu, 13 Januari 2021.
Pramono yang juga menjabat sebagai komisioner KPU menilai Arief tidak melakukan tindakan asusila atau tercela. Dia juga tidak menerima suap atau gratifikasi.
Dia menyinggung salah satu hal yang menjerat Arief, yakni penandatanganan surat KPU Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020. Surat itu ialah pengantar atas petikan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 83/P Tahun 2020 tentang Pencabutan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 untuk mengembalikan nama baik Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik yang sempat diberhentikan DKPP dengan tidak hormat.
Baca: Dipecat DKPP, Ketua KPU Tegaskan Tak Lakukan Kejahatan Pemilu
“Surat pengantar itu tidak mempunyai kekuatan hukum untuk mengaktifkan saudari Evi Novida Ginting,” ujar Pramono.
Pramono mafhum Arief membubuhkan tanda tangan tersebut dalam kedudukannya sebagai ketua KPU. Namun, tanda tangan itu dibubuhkan lantaran posisi administratif Arief.
“Jadi bukan dalam kedudukannya sebagai pribadi,” papar Pramono.
Lagipula, kata Pramono, surat KPU Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020 hasil tindak lanjut setelah berkomunikasi dengan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Awalnya Evi disebut bisa langsung kembali bertugas tanpa menunggu surat presiden (surpres). Namun, KPU memohon pada Presiden Joko Widodo melalui Kemensetneg untuk mengeluarkan surpres.
“Bukan hanya diperlukan untuk mengaktifkan kembali saudari Evi Novida Ginting, namun juga menjadi dasar pengembalian hak lain seperti keuangan," terang dia.
Pramono berpendapat tindakan Arief bukan pelanggaran serius. Hal itu, kata dia, tidak mencederai integritas, proses, atau hasil pemilu atau pilkada.
“Dengan menandatangani surat tersebut, saudara Arief Budiman tidak memiliki niat jahat untuk memanipulasi proses pemilu atau menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu atau pilkada,” kata dia.
DKPP memberhentikan Arief Budiman sebagai ketua KPU. Arief terbukti melanggar kode etik. Keputusan tersebut disampaikan dalam sidang etik putusan perkara dengan nomor 123-PKE-DKPP/X/2020. Arief juga mendapat sanksi peringatan keras.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua KPU kepada teradu Arief Budiman selaku ketua KPU RI,” tulis putusan DKPP.
DKPP sempat menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh Arief. Ia diadukan oleh Jupri dengan nomor perkara 123-PKE-DKPP/X/2020.
Jupri melaporkan Arief terkait dugaan pelanggaran etik saat mendampingi Evi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Evi sempat diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020.
Pemohon juga mempermasalahkan keputusan Arief menerbitkan Surat KPU RI Nomor 665/SDM.13.SD/05/KPU/VIII/2020 tanggal 18 Agustus 2020. Surat tersebut meminta Evi kembali aktif melaksanakan tugas sebagai anggota KPU periode 2017-2022.
Arief Budiman mengaku kehadirannya mendampingi Evi mendaftarkan gugatan pemecatan ke PTUN atas inisiatif sendiri. Dia tak bertindak sebagai perwakilan KPU.
"Institusi (KPU) tidak pernah menugaskan saya ke sana. Kami (komisioner) tidak pernah membahas datang ke sana atau tidak. Itu murni saya berempati dengan yang bersangkutan," ujar Arief dalam persidangan yang digelar DKPP secara virtual, Rabu, 18 November 2020.
Jakarta: Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (
DKPP), Pramono Ubaid Tanthowi, menyampaikan
dissenting opinion ihwal pemecatan Arief Budiman sebagai ketua Komisi Pemilihan Umum (
KPU). Sanksi pemecatan dianggap berlebihan.
“Saudara Arief Budiman tidak selayaknya untuk dijatuhi sanksi paling berat baik berupa pemberhentian tetap sebagai anggota atau dari jabatan ketua,” kata Pramono dalam suratnya kepada ketua dan anggota DKPP seperti dikutip
Medcom.id, Rabu, 13 Januari 2021.
Pramono yang juga menjabat sebagai komisioner KPU menilai Arief tidak melakukan tindakan asusila atau tercela. Dia juga tidak menerima suap atau gratifikasi.
Dia menyinggung salah satu hal yang menjerat Arief, yakni penandatanganan surat KPU Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020. Surat itu ialah pengantar atas petikan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 83/P Tahun 2020 tentang Pencabutan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 untuk mengembalikan nama baik Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik yang sempat diberhentikan DKPP dengan tidak hormat.
Baca:
Dipecat DKPP, Ketua KPU Tegaskan Tak Lakukan Kejahatan Pemilu
“Surat pengantar itu tidak mempunyai kekuatan hukum untuk mengaktifkan saudari Evi Novida Ginting,” ujar Pramono.
Pramono mafhum Arief membubuhkan tanda tangan tersebut dalam kedudukannya sebagai ketua KPU. Namun, tanda tangan itu dibubuhkan lantaran posisi administratif Arief.
“Jadi bukan dalam kedudukannya sebagai pribadi,” papar Pramono.
Lagipula, kata Pramono, surat KPU Nomor 663/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020 hasil tindak lanjut setelah berkomunikasi dengan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Awalnya Evi disebut bisa langsung kembali bertugas tanpa menunggu surat presiden (surpres). Namun, KPU memohon pada Presiden Joko Widodo melalui Kemensetneg untuk mengeluarkan surpres.
“Bukan hanya diperlukan untuk mengaktifkan kembali saudari Evi Novida Ginting, namun juga menjadi dasar pengembalian hak lain seperti keuangan," terang dia.